Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerita Anak “Doa Manis di Kebun Tetangga”

Berita Jabar News (BJN), Kolom SASTRA, Selasa (25/11/2025) ─ Cerita anak berjudul “Doa Manis di Kebun Tetangga” ini merupakan karya oleh Binti Wasunah, seorang guru mengaji yang menyukai dunia literasi.

“Nono! Pramono!” Suara Emak melengking seperti peluit kereta api yang remnya blong, oktafnya naik tiga tingkat dari biasanya, pertanda ada badai topan kategori lima yang akan segera menerjang ruang tamu kami.

Aku yang saat itu sedang asyik menggambar pahlawan super di buku tulis, langsung tahu ajalku sudah dekat.

“I-iya, Mak?” Jawabku gemetar sambil memberanikan diri nongol dari balik pintu kamar.

Binti Wasunah
Binti Wasunah, Penulis/Pengarang – (Sumber: BJN)

Emak sudah berdiri dengan postur andalannya: kedua tangan di pinggang, satu alis terangkat, dan tatapan mata yang lebih tajam dari silet cukur Bapak. Di tangannya tergenggam ulekan. Bukan untuk mengulekku, untungnya, tapi itu adalah barang bukti kejahatanku.

“Mana cabai yang Emak suruh beli tadi siang? Emak mau bikin sambal terasi! Ini terasinya sudah menjerit-jerit minta diulek!” Semprot Emak dengan nada sebel.

Aku menelan ludah. Kering. Pahit. Cabai. Ya Tuhan, cabai! Aku benar-benar lupa. Uang dua ribu perak yang tadi Emak berikan sudah berpindah tangan ke abang penjual es mambo di ujung gang.

“Anu, Mak… uangnya,” jawabku dengan nada terbata-bata.

“Uangnya kenapa? Hilang? Kamu dipalak preman pasar?” Cecar Emak, suaranya makin meninggi.

“Jadi es mambo, Mak,” ujarku sepelan mungkin, berharap suara ini tertelan oleh deru kipas angin.

Hening sejenak. Aku bisa merasakan tekanan udara di ruangan menurun drastis. Inilah ketenangan sebelum badai.

“Dasar anak pemalas! Disuruh beli cabai malah beli es! Mau jadi apa kamu ini besar nanti? Jadi direktur pabrik es mambo?” Rentetan omelan itu menjadi aba-aba bagi kakiku untuk beraksi.

Dengan kecepatan kilat, aku memutar badan dan berlari keluar rumah. Aku tidak peduli sandal jepitku terbang sebelah. Yang penting, menjauh dari pusat gempa. Tujuanku satu: kebun kosong di belakang kompleks, tempat persembunyian rahasiaku.

Aku terus berlari dengan napas terengah-engah. Air mataku pun mulai membanjiri pipi. Aku menerobos semak-semak yang tingginya hampir sepinggangku. Rasanya dunia tidak adil. Cuma karena cabai, aku diperlakukan seperti penjahat kelas kakap.

Di tengah isak tangis, mataku menangkap sesuatu yang hijau kekuningan. Aku berhenti. Di sana, di antara rimbunnya daun, berdiri sebatang pohon srikaya yang tidak terlalu tinggi. Ya ampun, buahnya lebat sekali! Bergelantungan seperti lampu-lampu hias, montok, dan kulitnya yang bersisik seolah-olah tersenyum padaku, menandakan mereka sudah masak sempurna. Kesedihanku menguap seketika, digantikan oleh euforia murni.

Wah, rezeki anak saleh yang lagi dimarahi! Ujarku girang dalam hati.

Tanpa perlu memanjat, aku bisa meraih beberapa buah yang paling menggoda. Aku membelahnya dengan kedua tangan. Daging buahnya yang putih, lembut, dan berbiji hitam mengkilap langsung menyapa.

Tanpa pikir panjang, aku melahap buah srikaya itu. Manis! Legit! Rasa manisnya seolah-olah membasuh semua kepahitan omelan Emak.

Satu buah ludes. Aku ambil lagi. Ludes lagi. Aku terus makan seperti orang yang tidak pernah bertemu makanan enak seumur hidupnya. Biji-bijinya kulepehkan begitu saja ke tanah. Perutku yang tadi keroncongan karena belum makan siang, kini mulai terasa penuh dan hangat.

“Ah, ini baru hidup,” kataku sambil bersandar di batang pohon.

Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Perut kenyang, hatiku sedikit senang. Mataku perlahan terasa berat. Suara omelan Emak tergantikan oleh nyanyian serangga.

Akhirnya, aku pun terlelap di surga srikaya itu. Entah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun bukan karena mimpi indah, tapi karena sensasi panas dan gatal yang luar biasa yang menjalar di punggung tanganku.

“Aduh! Aduh! Apa ini?” Pekikku penuh ketakutan.

Mataku mengerjap dan pemandangan pertama yang kulihat adalah barisan semut merah yang sedang berpesta pora di tanganku yang lengket oleh getah srikaya. Aku panik, lantas dengan spontan mengibaskan tangan sekuat tenaga sambil melompat-lompat kecil.

Setelah pasukan semut berhasil kuusir, aku baru menyadari keadaan di sekelilingku. Langit yang tadi biru cerah kini sudah berwarna jingga pekat. Sebentar lagi magrib.

Waduh, gawat! Bisa-bisa Emak mengunciku di luar, pikirku cemas.

Amarah Emak pasti sudah reda sekarang. Biasanya begitu. Marahnya meledak-ledak di awal, tapi cepat surut.

Aku memutuskan untuk pulang. Saat hendak bangkit berdiri, mataku tak sengaja memandang ke arah pagar pembatas kebun. Pagar kawat itu dicat biru langit dengan beberapa pot gantung berisi bunga anggrek yang khas.

Tunggu sebentar. Pagar biru? Anggrek? Tanyaku dalam hati. Jantungku serasa berhenti berdetak. Itukan pagar rumah Pak Raji! Ini bukan kebun Emak! Ini kebun tetangga!

Tubuhku langsung lemas. Aku menatap sisa-sisa kulit srikaya dan biji-biji yang berserakan di sekitarku. Perutku yang tadi terasa nyaman karena kenyang, kini mendadak mulas karena rasa bersalah. Aku baru saja menjarah pohon srikaya milik Ketua Rukun Tetangga. Ini bukan sekadar lupa beli cabai, tapi ini mah  pencurian!

“Mati aku… mati aku…,” bisikku pada diri sendiri.

Rasa malu, takut, dan berdosa bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana kalau Pak Raji tahu? Bagaimana kalau beliau lapor ke Emak? Hukumanku pasti lebih berat dari sekadar tidak dapat uang jajan. Aku mencoba menenangkan diri.

“Tapi… tapi kan kalau dibiarkan di pohon kan sayang,” gumamku, mencari-cari pembenaran, “Dari pada busuk atau dimakan kalong di malam hari, lebih baik kumakan. Aku kan cuma menyelamatkan buahnya.” Dalih itu terdengar sangat konyol. Bahkan, di telingaku sendiri.

Tak mau berlama-lama di tempat kejadian perkara, aku segera berlari pulang secepat yang kubisa, kali ini dengan perasaan yang jauh lebih buruk daripada saat aku lari dari rumah tadi.

Setibanya di rumah, Emak sedang duduk di teras dengan wajah cemas. Melihatku, raut wajahnya berubah dari cemas menjadi lega, lalu kembali menjadi galak, tapi versi lebih lembut.

“Dari mana saja kamu? Dicariin dari tadi, kirain diculik genderuwo!” Kata Emak dengan wajah masam.

Emak marah
Aku sedang dimarahi Emak karena kabur dari rumah – (Sumber: BJN)

Aku tak menjawab, tapi langsung menghambur memeluk kakinya dan menangis sejadi-jadinya, “Maafin Mono, Mak… Mono salah. Mono lupa beli cabai. Mono janji nggak akan begitu lagi.”

Emak menghela napas, lalu mengelus kepalaku.

“Sudah, sudah. Lain kali kalau disuruh jangan ditunda-tunda. Ayo masuk, mandi, lalu salat Magrib,” kata Emak.

Aku mengangguk patuh. Diam seribu bahasa dengan rasa menyesal yang paling dalam. Aku meminta maaf atas kesalahan yang Emak tahu, tapi menyimpan rapat-rapat dosa manisku di kebun tetanggaku.

Malam itu, aku makan tanpa sambal terasi, dan rasanya hambar. Tak sehambar rasa bersalah yang mengganjal di hatiku.

Hingga hari ini, puluhan tahun kemudian, tidak ada seorang pun yang tahu tentang petualanganku di kebun srikaya itu. Namun, setiap kali aku melihat buah srikaya, atau mendengar nama tetanggaku disebut, aku selalu refleks beristigfar dalam hati dan selalu mendoakan Pak Raji yang telah wafat. Semoga iman dan Islamnya diterima Allah yang Maha Kuasa.

Pelajaran berharga itu terpatri selamanya, lari dari satu masalah kecil seringkali hanya akan membawamu ke masalah yang jauh lebih besar. Rasa manis dari buah curian, ternyata menyisakan rasa pahit yang tak akan hilang oleh waktu.

***

Judul: Doa Manis di Kebun Tetangga
Penulis: Binti Wasunah
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan ini merupakan tugas menulis dari peserta Workshop Menulis OnlineDari Kata Menjadi Karya” secara daring  yang diselenggarakan oleh Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kota Cimahi bekerja sama dengan Media Online Berita Jabar News dan Kampung Cendekia Kota Cimahi pada Minggu, 21 September 2025.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *