Career Switch Alias Beralih Profesi, Siapa Takut?
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Artikel berjudul “Career Switch Alias Beralih Profesi, Siapa Takut?” ini ditulis oleh Yeni Dewi Siagian Psikolog, seorang psikolog dan Coach, Productivity and Women Empowerment Psychologist. Artikel ini sebelumnya sudah pernah terbit di Kompasiana.com dan atas seizin penulisnya diterbitkan ulang di Berita Jabar News.
Walaupun track record saya lama berkecimpung di bidang human capital (cek di LinkedIn Butterfly Enterprise), saya mungkin termasuk orang yang sudah beberapa kali beralih profesi (career switch) dalam bekerja, sebelum akhirnya menjadi seorang enterpreneur seperti sekarang ini.
Bukan karena tidak suka dengan bidang human capital, tapi justru saya merasa banyak hal di bidang human capital ini yang bisa didalami lebih lagi dan juga tentu saja kesempatan yang terbuka di beberapa company baru untuk bergabung dengan profesi di bidang yang lain.
Awal bekerja, setelah lulus S1 dari Fakultas Psikologi UGM dan Profesi Psikolog Universitas Indonesia, saya langsung diterima sebagai Human Capital Manager di salah satu retail optik, anak perusahaan PT. Djarum, yang bernama ProOptik.
Suasana yang menyenangkan dan bos yang selalu tersenyum dan bijaksana membuat saya sangat nyaman bekerja di perusahaan itu. Namun, setelah beberapa bulan bekerja di situ, saya mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai training manager di salah satu anak perusahaan konglomerat lainnya yang bernama AIG Lippo. Setelah berpikir sekian lama, saya lalu memutuskan untuk bergabung di perusahaan tersebut.
Tidak lama bergabung di perusahaan tersebut, saya pun mengundurkan diri dan bergabung menjadi associate consultant di beberapa Konsultan SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup ternama di Jakarta. Saya cukup menikmati pekerjaan saya sebagai konsultan, sampai saya ditawari untuk bekerja sebagai rekruter di sebuah perusahaan media ternama yaitu Gramedia Majalah.
Sebagai rekruter di grup media terbesar saat itu, banyak pengalaman yang saya dapatkan, termasuk berkenalan dengan dewan redaksi berbagai majalah dan editor. Bahkan, saya jadi tahu “aura yang berbeda” di setiap redaksi majalah yang saya datangi.
Kesukaan saya bekerja dengan orang-orang media membuat saya akhirnya bergabung menjadi reporter di salah satu media cetak bernama Majalah Intisari dan mulai belajar untuk membuat artikel dalam deadline yang cukup memadai.
Di sini saya mulai semakin mendalami hidup di dunia media. Bagaimana bersikap sopan kepada narasumber, tapi juga bisa menikmati event yang mereka adakan, sambil tetap membawa identitas positif dari media yang saya wakili, termasuk tidak menerima “suap” dalam bentuk apapun dari narasumber.
Ada hal yang unik di sini, saat itu saya diminta untuk mewawancarai artis senior yang sudah terjun ke kegiatan sosial. Supaya tidak telat, saya memilih untuk tidak sarapan. Saya lalu sampai di lokasi bersama rekan saya, seorang kameramen senior.
Begitu kami sampai, di meja sang artis sudah ada setampah aneka jajanan pasar (tampah besar untuk menampi beras). Seperti biasa, kami mencicipi hidangan yang tersedia seadanya.
Saat kami akan pulang, sang artis menawarkan kami untuk membawa pulang semua kue yang ia sediakan. Rekan saya menolak, tapi si artis tetap menawarkan. Ternyata ia sudah menyiapkan kue sebanyak itu untuk kudapan kami dan rekan saya tetap menolak, lalu berpamitan.
Saat di jalan, saya tanyakan kepada rekan tersebut kenapa tidak dibawa saja kudapannya. Rekan saya mengatakan, “Kita tidak boleh terima apapun dari narasumber.” Dari situ saya belajar yang namanya integritas, selapar apapun kondisi saya saat itu.
Selama bekerja sebagai reporter, saya dapat kesempatan meliput peluncuran mobil mewah seri terbaru saat itu, menghadiri undangan peluncuran sinetron yang akan tayang, peluncuran majalah franchise dari luar negeri, dan lain-lain.
Namun, hal yang sangat menyenangkan buat saya adalah ketika saya bisa meliput pendirian hotel mewah di Bali dan bertemu dengan orang yang sempat jadi orang nomor satu di Pertamina, mewawancarai orang-orang yang luar biasa saat itu, antara lain ibu kembar yang membangun sekolah gratis di bawah jembatan, serta yang tidak terlupakan bagi saya adalah wawancara dengan multi talent desainer Harry Darsono.
Kenapa tidak terlupakan? Selain seorang desainer, dia adalah seorang psikolog, desain interior, pemusik, dan arsitek untuk “kastil”-nya yang dia bangun di Cilandak (dekat Cilandak Town Square) Jakarta Selatan. Namanya yang besar tidak membuatnya jadi orang yang tinggi hati, tapi beliau malah mengajarkan saya tentang kerendahan hati.
Bagaimana caranya?
Ketika saya sampai di kastil Harry Darsono yang indah, beliau sendiri yang menerima saya di depan pintu rumahnya dan langsung mengarahkan saya ke meja yang sudah ada hidangan pembuka yaitu cake coklat. Lalu ia menanyakan, “Mbak lebih suka coklat atau kopi?”
Lalu asisten Harry menyediakan coklat enak yang hangat buat saya. Sebelum memulai diinterview, ia mengajak saya melihat semua koleksi pakaian yang ada di rumahnya. Rancangannya betul-betul merupakan rancangan yang extravaganza!
Interview berjalan dengan hangat dan penuh keramahan yang bukan basa basi. Bahkan, saking asyiknya kami berbicang apa saja, tidak terasa hari sudah mendekati jam makan malam.
Saat mau pamit pulang, beliau mengajak saya untuk makan bersama timnya di kastilnya yang indah. Menu malam itu crab (kepiting) dengan sedikit red wine, kiriman dari resto yang ternama saat itu.
Harry juga mengajak saya mendengarkan lagu yang ditawarkan pengarang lagunya untuk jadi lagu yang akan dipakai saat ia melakukan fashion show untuk koleksi pakaiannya. Katanya, “Biasanya fashion show saya lakukan di sini (di kastilnya – sehingga eksklusif) dan kadang saya juga memainkan musik di depan tamu-tamu saya.”
Tak hanya sampai di situ, sebelum saya pulang, beliau minta saya mendengarkannya memainkan piano di grand piano-nya dan mengajak saya bernyanyi. Berhubung saya suka menyanyi, saya pun menyanyikan beberapa lagu yang sama dengan lagu yang beliau mainkan di pianonya.
Berhubung hari sudah malam saya pamit pulang dengan hati yang senang, sudah diterima dengan baik dan diantar sampai ke depan pintu kastil oleh sang desainer yang rendah hati dan multi talented (multi talenta), padahal dengan segala kehebatannya, bisa saja dia tidak bersikap sehangat itu (seperti yang akan saya ceritakan di akhir tulisan ini).
Mengapa tidak? Baju rancangannya dipakai oleh orang-orang yang spesial, seperti keluarga bangsawan Brunei, Queen Rania (sebelum diangkat menjadi ratu) dan Lady Diana. Bahkan, saking sukanya Lady Diana atas baju rancangannya, bajunya dipakai dua kali oleh Lady Diana di depan public, juga oleh istri raja sinetron saat itu dan kelas atas lainnya di Indonesia.
Walaupun banyak pengalaman yang seru dan menyenangkan yang saya dapatkan saat bekerja sebagi reporter. Namun, saya berkeinginan untuk menjadi seorang pebisnis. Bisnis yang saya lakukan pertama kali adalah mendirikan toko bunga bersama seorang teman saat masih bekerja sebagai reporter.
Saya dan teman saya menimba ilmu bisnis di Enterpreneur University sambil mempraktikkan ilmunya di toko bunga kami, namanya “Mentari Florist”.
Merintis bisnis sambil bekerja kantoran bukan hal yang mudah karena walaupun lokasi kantor dan toko bunga kami berdekatan, tapi kami harus ekstra kuat secara fisik, psikis, dan emosi. Kami harus tetap bekerja dengan baik (perform di kantor) dari pagi sampai malam.
Pagi sampai sore di kantor di Palmerah, sore sampai malam di toko bunga kami di Rawa Belong. Untungnya kami bisa lakukan dengan baik sehingga pekerjaan di kantor Palmerah tidak terganggu, walau harus pulang lebih malam setiap Senin sampai Jumat dan tetap bekerja sampai Sabtu sore.
Setelah merasa mendapatkan ilmu yang cukup sebagai reporter, saya lalu memutuskan untuk mengundurkan diri dan lebih serius dengan bisnis saya saat itu.
Flower arrangement (rangkaian bunga) dari toko bunga kami cukup bagus sehingga beberapa kali pernah masuk majalah yang mengulas pernikahan dan masuk ke acara televisi. Kami juga menangani dekorasi untuk pernikahan di salah satu perumahan mewah di Jakarta Selatan dan jadi toko bunga langganan anak salah satu pejabat saat itu.
Dari situ saya dan rekan saya lalu lanjut mendirikan talent management dengan nama “Jakarta Bintang Management” yang memasukkan SPG (Sales Promotion Girl/Boy) ke berbagai event. Juga memasukkan talent untuk casting di beberapa PH (Production House).
Karena berbagai hal, lalu saya dan rekan saya sepakat untuk tidak melanjutkan bisnis bersama dan saya pun bergabung lagi menjadi associate consultant di salah satu konsultan human capital yang cukup ternama di negeri ini.
Dari situ saya lalu di-hire oleh klien perusahaan konsultan, yaitu Haka Group milik Bapak Halim Kalla (adik dari Jusuf Kalla) dan bekerja sampai menjadi HRGA & Legal GM (General Manager) di sana.
Saya bekerja beberapa tahun di sini dan dibajak oleh salah satu perusahaan outsourcing terbesar swasta saat itu (KPSG, anak Perusahaan Titan Group). Karena kerinduan saya untuk bisa lebih sering beribadah setiap Jumat siang, tawaran itu saya ambil karena di tempat yang lama ibadah saya kurang teratur.
Setelah itu, saya lalu diajak bergabung di beberapa perusahaan headhunter (Jakarta Executive Search) sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuat perusahaan executtive search sendiri yang bernama BALI JAVAHEADHUNTER.
Karena saya suka belajar dan mengajar maka saya lalu merintis training organizer di bawah bendera yang sama dengan nama merk BUTTERFLY CONSULTING INDONESIA sampai saat ini. Perusahaan ini bergerak di bidang penyediaan training (private, inhouse & public training) serta sertifikasi profesi/kompetensi antara lain BNSP dan Kemnaker.
Tidak terasa kemarin BUTTERFLY CONSULTING INDONESIA sudah berulang tahun kesekian. Bagi saya semua pengalaman yang saya dapatkan ketika bekerja di perusahaan-perusahaan sebelumnya menambah wawasan dan pengetahuan serta membangun mental saya dalam menjalani dinamika bisnis.
Saya selalu teringat kerendahan hati para mantan bos saya. Bagaimana cara mereka memperlakukan stafnya, menerima pendapat atau berbagi kisah hidup dengan kami. Ini yang saya coba terapkan ketika saya melakukan kegiatan sehari-hari.
Bagaimana Pak Budi Santoso, bos saya yang pertama selalu tersenyum hangat ketika bertemu saya. Termasuk ketika saya datang ke ruangannya untuk meminta saran atau menyampaikan sesuatu. Ada yang unik di sini. Jam berapa pun saya sampai di kantor, saya selalu datangi beliau lebih dulu (setelah meletakkan tas saya di ruangan saya) dan menanyakan tugas apa yang beliau ingin saya kerjakan hari itu, sebelum saya mengerjakan tugas yang sudah ada.
Bagaimana seorang Jakob Oetama sebagai pemilik KKG (Keluarga Kompas Gramedia) yang termasuk orang terkaya ke sekian di Indonesia pada masa itu mau membukakan pintu lift, memencet nomor lantai dan mempersilahkan kami untuk keluar dari lift dengan sopan saat kami masuk ke lift yang sama dengannya.
Wow, bayangkan bagaimana rasanya dilayani oleh orang nomor satu di KKG sperti itu! Sampai hari ini hati saya tergores secara positif mengingat kerendahan hati salah satu orang hebat di negeri ini. Buat saya, beliau wujud nyata dari penerapan Service Leadership (Pemimpin yang Melayani) di perusahaan.
Bagaimana seorang desainer Harry Darsono yang sudah mendunia memperlakukan wartawan yang baru dikenalnya dengan penuh kehangatan dan kerendahan hati yang luar biasa.
Bagaimana seorang Halim Kalla yang semua juga tahu kebesaran nama keluarganya membahana di seantero negeri ini, memperlakukan kami seperti temannya ketika bercerita apa saja. Bagaimana kerendahan hatinya ketika mengurus anak-anaknya saat mereka akan liburan bersama, sikap hidup anak-anaknya yang hemat dan bersahaja, dan lain-lain.
Bagaimana orang terkesan segan dan kemudahan yang saya dapatkan ketika saya mencantelkan kartu nama “PERS” di mobil atau di baju saya ketika saya melakukan liputan.
Bagaimana saya bertemu Ibu Kembar yang memilih untuk melakukan kegiatan sosial di bawah jembatan yang bau dan panas di Jakarta Barat secara gratis demi kemajuan pendidikan anak-anak di wilayah itu, padahal dengan kekayaan dan jabatan suaminya di dunia medis dan militer, kalau mereka mau, mereka bisa saja tinggal tenang mempercantik diri sambil posting kekayannya dan liburan ke berbagai negara di medsos alias flexing. Namun, mereka tidak mau. Bahkan, mereka cerita kalau mereka lakukan semua dari kantong mereka sendiri.
Belum lagi, keterampilan beradaptasi (social quotient) ketika bertemu berbagai tipe orang dan mewawancarai narasumber ala reporter serta ilmu cara menulis dan “berbicara” melalui artikel yang saya tulis di Majalah Intisari sangat membantu saya dalam membuat artikel, menulis surat, dan proposal, termasuk berinteraksi dengan berbagai tipe klien di dunia kerja saya saat ini. Masih banyak lagi pengalaman yang saya dapatkan karena melakukan career switch alias alih profesi beberapa kali.
Hal yang baik di perusahaan sebelumnya saya jadikan panutan. Hal yang negatif saya jadikan bahan untuk dihindari dalam saya menjalankan perusahaan saat ini. Contohnya? Ada juga.
Pernah waktu saya ada tugas peliputan di daerah Jakarta Selatan. Untuk menghemat waktu saya memilih berangkat untuk naik ojek. Saya menyebutkan lokasi yang saya tuju ke tukang ojek.
“Kuningan dan saya mau cepat sampai di sana,” kata saya ke tukang ojek.
Sementara saat itu sudah mulai turun hujan. Tukang ojeknya mungkin terlalu bersemangat dan saya pun tidak mengecek rute yang dia lalui karena sibuk pakai jas hujan. Ternyata dia mengantarkan saya ke stasiun.
Saya bilang ke tukang ojeknya, “Kok stasiun Pak ?”
“Kan katanya mau ke Kuningan,” jawab tukang ojek.
“Bukan Pak, saya mau ke Jalan Kuningan, bukan ke stasiun, ke gedung X,” jawab saya.
Tukang ojeg itu lalu segera membawa saya ke gedung yang dimaksud.
Ternyata begitu saya turun dari ojek, hujan turun dengan derasnya, sampai saya basah kuyup. Tadinya saya mau pulang untuk tidak melanjutkan wawancara dengan salah satu manajer di perusahaan yang dulu sangat terkenal (tapi sekarang tidak lagi), tapi saya putuskan untuk menanyakannya lebih dulu, sebelum merapikan diri di toilet, karena jamnya sudah dekat dengan jam untuk deadline wawancara.
Saat saya sampai di ruang tunggu, manajer yang tadinya akan saya wawancarai hanya menoleh sekilas kepada saya, lalu pergi tanpa bicara dengan saya. Agak lama kemudian stafnya datang dan meminta saya pulang karena manajernya tidak bersedia saya wawancarai.
Saya agak terkejut dengan perlakuan mereka, mengingat perjuangan yang saya lakukan untuk mengejar deadline jam wawancara, sambil badan menggigil kedinginan. Saya dibiarkan menunggu di ruangan agak gelap karena lampu sudah dimatikan sebagian, tapi ac (pendingin udara) tetap menyala.
Saya ucapkan terima kasih kepada stafnya dan pamit pulang. Besoknya si manajer menelepon ke kantor dan bilang kalau ia tidak mau diwawancarai karena majalah kami pernah melakukan liputan yang tidak benar tentang company mereka, padahal setelah kami cek, apa yang ia katakan tidak sesuai dengan yang dimuat di majalah. Dari sini saya belajar untuk menghargai semua orang yang saya temui, termasuk sebasah kuyup apapun dia saat bertemu saya demi mengejar deadline pertemuan.
Mungkin ada pertanyaan, kenapa saya akhirnya memilih untuk memulai usaha sendiri? Jawabannya adalah karena setelah berulangkali pindah kerja dan profesi, saya melihat semua pimpinan alias owner perusahaan adalah seorang pengusaha (enterpreneur). Oleh karena itulah maka saya memutuskan untuk mulai merintis karir sebagai pengusaha, sekalian saya bisa ada waktu lebih banyak untuk menjaga ibu saya, juga memuaskan hobi saya membaca dan menulis seperti saat ini, serta mulai merekam suara saya di wesing dan melakukan kegiatan sosial.
Saya sangat bersyukur kepada Tuhan dengan pekerjaan saya saat ini. Saya melakukan apa yang kata Gallup (Perusahaan Konsultan di Amerika): find my strength and weakness and live my passion (menemukan kekuatan dan kelemahan saya dan menghidupi apa yang saya minati/membuat saya bergairah).
Saya percaya passion itu berasal dari Tuhan dan itu yang jadi destiny kita untuk memberikan manfaat (jadi saluran berkat dan mujizat) bagi banyak orang. Karena tujuan kita hadir di dunia ini sebenarnya adalah menolong banyak orang, bukan memuaskan ego kita. Jadi selagi ada kesempatan, kamu bisa saja melakukan career switch alias beralih profesi.
Yang penting hitung semua dengan matang, apalagi kalau kamu sudah punya tanggungan. Siapkan lumbung untuk kalian hidup selama minimal enam bulan ke depan dan dana darurat, tentunya kalau kamu ingin jadi pengusaha.
Kamu juga mesti punya mental yang tahan banting, luwes bergaul, dan selalu positif dalam menghadapi situasi yang baru. kamu juga harus cepat beradaptasi (agile) dan memiliki kemampuan komunikasi (verbal dan non verbal) yang baik, supaya kamu bisa menyampaikan ide-idemu di tempat yang baru. Tidak boleh cengeng. Menangis boleh, tapi cengeng, NO WAY!
Hal yang lebih utama adalah kamu harus bertanya ke Tuhan dulu, apakah kamu perlu pindah kerja atau tidak. Kalau jawabannya adalah pindah kerja, percayalah dan jalani dengan sebaik-baiknya sebab Tuhan itu setia, kalau Ia berjanji, pasti menepati-Nya.
Ketika kau melangkah dalam jalan-Nya Tuhan, Tuhan pasti akan memegangmu dengan tangan kanan-Nya yang membawa kemenangan.
Jadi buat yang mau alih profesi alias career swith, tetap semangat ya! Karena yang dibentuk saat kamu melakukan career switch alias beralih profesi adalah karaktermu. Banyak tantangan yang kamu hadapi, tapi kalau kamu yakin memang jalanmu sesuai dengan yang Tuhan mau, pasti kamu mampu meraih sukses di profesimu yang baru.
Ini doa saya buatmu:
“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu. Dia sendiri akan menyertai engkau. Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau. Janganlah takut dan janganlah patah hati. Dia akan menopang engkau dengan tangan kanan-Nya yang membawa KEMENANGAN.” (Yeni Dewi Siagian).
***
Judul: Career Switch Alias Beralih Profesi, Siapa Takut?
Penulis: Yeni Dewi Siagian Psikolog
Editor: JHK
Sekilas tentang penulis:
Professional Training Organizer, Human Capital Practitioner, Digital Marketing ,Trainer dan Assessor BNSP Licensed | Coach, Productivity and Women Empowerment Psychologist | Member of APA (American Psychological Association) | WeSing @yenidewisiagianpsikolog | Twitter @yenidewisiagian | FB/IG @yenidewisiagianpsikolog | YouTube @yenidewisiagianpsikologtv | Pernah bekerja sebagai Journalist di Majalah Intisari (KKG) | Business Inquiries Contact 0812-9076-0969 | Founder of www.butterflyconsultindonesia.com | IG @butterflyconsultindonesia