ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Bumi Dikeruk untuk Siapa?

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Artikel/Opini, Rabu (12/11/2025) – Artikel berjudul “Bumi Dikeruk untuk Siapa?merupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Langit sore di Bandung berwarna jingga. Dari jendela ruang kerja, seorang anggota dewan di gedung DPRD Jawa Barat menatap lembah yang perlahan tertutup kabut. Ia menghela napas panjang. Di tangannya, selembar berita tentang terbitnya 76 izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa Barat. Matanya menatap tajam pada tulisan itu—sebuah keputusan besar yang bisa menjadi berkah, sekaligus ujian.

“Ini bukan sekadar izin,” gumamnya pelan “Tapi Ini tentang masa depan bumi dan anak cucu kita,” lanjutnya.

Penambang
Ilustrasi: Para penambang sedang menggali sebuah teroeongan – (Sumber: Arie/BJN)

Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja mengeluarkan 76 izin tambang. Sebagian besar adalah perpanjangan izin, bukan izin baru. Langkah ini disambut baik oleh DPRD Jabar.

Di ujung lain Jawa Barat, seorang petani di Subang menatap sawahnya yang mulai mengering.

“Air di sungai makin sedikit, Bu,” keluh petani itu pada istrinya, “Katanya di hulu sana ada tambang baru buka.”

Sang istri menatap langit, lalu menimpali, “Kalau bumi terus digali tanpa henti, kepada siapa nanti anak-anak kita menanam harapan?”

Dialog sederhana itu mungkin tak sampai ke ruang rapat pemerintahan, tetapi gema kegelisahan rakyat kecil itu nyata, senyata tanah yang retak karena kehilangan airnya.

Ketika Legalitas Tak Menjamin Keadilan

Dari luar, izin tambang terlihat sebagai langkah tertib hukum. Tapi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperingatkan bahwa baik tambang legal maupun ilegal bisa membawa malapetaka yang sama. Dalam pernyataannya, Jatam menulis, “Masalah bukan pada status legal atau ilegal, melainkan pada watak predatoris industri tambang itu sendiri yang mendapat perlindungan negara.”

Mereka menuding banyak perusahaan yang merampas tanah tanpa persetujuan warga, menebangi hutan, mencemari sungai, bahkan membuka tambang di sekitar permukiman.

Jika alam bisa berbicara, mungkin ia akan berbisik lirih, “Bukan siapa yang menambangku yang kusesali, tapi siapa yang melupakanku setelah mereka pergi.”

Ketika Sistem Menjadi Akar Luka

Masalah tambang sejatinya bukan hanya pada izin, tetapi pada sistem yang mengaturnya. Dalam paradigma kapitalisme, tambang dipandang sebagai komoditas bisnis, bukan amanah publik. Negara berperan sebagai fasilitator keuntungan, bukan pelindung kehidupan. Dari sinilah lahir liberalisasi tambang, proses panjang sejak masa Orde Baru, ketika regulasi demi regulasi membuka pintu bagi investasi besar.

Mulai dari UU Penanaman Modal Asing (1967) hingga UU Ketentuan Pokok Pertambangan (1967), semua memberi ruang bagi swasta dan asing untuk mengelola kekayaan bumi Indonesia.

“Selama sistem ini berdiri,” kata seorang dosen ekonomi Islam di salah satu universitas negeri, “Negara akan sulit berpihak sepenuhnya pada rakyat. Karena di balik kata ‘izin’ tersimpan kepentingan modal yang lebih besar dari suara manusia.”

Bayangkan jika bumi bisa berbicara kepada manusia.

Bumi: “Aku menahan lapar dan haus agar kalian bisa hidup makmur, tapi mengapa kalian terus mengerukku tanpa jeda?”

Manusia: “Kami hanya ingin sejahtera.”

Bumi: “Sejahtera tanpa keseimbangan adalah ilusi. Airku kering, udaraku panas, pohon-pohonku roboh. Apa itu harga dari kemajuan?”

Dialog itu mungkin imajiner, tetapi maknanya nyata. Bumi menagih janji manusia untuk menjaga, bukan menguasai.

Islam, Jalan Pulang bagi Keadilan Alam

Islam mengajarkan paradigma yang sangat berbeda. Dalam Islam, tambang bukan milik individu atau korporasi, tetapi milik umum. Negara hanya menjadi pengelola amanah, bukan penjual izin.

Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (H.R. Abu Dawud). Maknanya jelas bahwa kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak boleh dikuasai segelintir pihak. Negara wajib mengelolanya agar hasilnya kembali pada rakyat.

Ummu Fahhala, S. Pd.
Ummu Fahhala, S. Pd., Penulis – (Sumber: BJN)

Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa hasil tambang besar harus masuk ke baitulmal (kas negara) yang digunakan untuk kepentingan publik. Tidak ada ruang bagi korporasi untuk menguasainya. Negara menambang atas nama rakyat, bukan atas nama keuntungan.

Islam tak hanya bicara hukum ekonomi, tetapi juga moral ekologis.

Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (Q.S. Al-A’raf: 56). Ayat ini menegaskan bahwa keberkahan bumi hanya akan lahir jika manusia hidup dengan kesadaran sebagai khalifah (pemimpin) yang menjaga, bukan pemilik yang serakah.

Ketika izin tambang diberikan, semestinya itu diiringi dengan niat ibadah dan tanggung jawab moral, bukan sekadar bisnis. Negara yang beriman akan memastikan setiap kebijakan berpihak pada keberlanjutan hidup manusia dan alam, bukan hanya pada angka investasi.

Penutup

Suatu malam, angin berembus dari lembah. Di pinggir sungai yang mulai surut, seorang anak kecil bertanya pada ayahnya, “Ayah, kenapa air sungainya berwarna cokelat?”

Sang ayah terdiam lama, lalu menjawab lirih, “Karena bumi sedang menangis, Nak. Tapi semoga manusia segera sadar, sebelum air mata bumi berubah jadi banjir yang menenggelamkan doa.”

Bumi memang tak bisa bersuara, tapi tanda-tanda murkanya mulai tampak diantaranya longsor, banjir, kekeringan, dan udara panas yang menyesakkan. Semua itu bukan azab tanpa sebab, melainkan peringatan agar manusia kembali bertaubat ekologis, taubat yang tak hanya dengan lisan, tetapi dengan sistem dan kesadaran.

Jangan salah, di  balik setiap izin yang ditandatangani manusia, ada janji besar kepada Sang Pencipta bahwa bumi bukan untuk ditaklukkan, tetapi untuk dijaga kelestariannya. (Ummu Fahhala).

***

Judul: Bumi Dikeruk untuk Siapa?
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *