Bencana Panggilan Spiritual untuk Menyadari Hubungan Manusia dengan Alam
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik ARTIKEL/OPINI, Selasa (16/12/2025) ─ Artikel bertajuk “Bencana Panggilan Spiritual untuk Menyadari Hubungan Manusia dengan Alam” ini adalah hasil tulisan Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan bencana ekologis di berbagai propinsi banjir berulang di wilayah pesisir dan perkotaan, longsor di daerah dataran tinggi dan pegunungan, kekeringan berkepanjangan, abrasi pesisir, dan erosi tanah yang semakin parah. Terakhir bencana alam banjir bandang di akhir bulan November 2025, melanda 3 Propinsi di Pulau Sumatera, yaitu Propinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Sudah banyak liputan yang menayangkan tragedi ini melalui berbagai media yang ada di Tanah Air dengan berbagai sudut pandang, lengkap dengan saling menyalahkan, penuh hujatan dan ujaran kebencian, tidak ketinggalan komentar netizen dari sisi politik yang menyatakan ; “Menjijikan, bencana malah dipakai ajang kampanye”. Ada yang menampilkan siklus kehidupan, praktik politik yang terjadi di negeri saat ini yang dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua “balas”. Satu ; Balas Budi dan satu Lagi Balas Dendam.

Dalam artikel ini, saya lebih menekankan ulasan dari sisi spiritual. Fenomena bencana alam yang terjadi di Indonesia ini tidak hanya memunculkan kesedihan dan kerugian, tetapi juga memantik perbincangan serius dalam ruang publik, bahwa bencana tidak sekadar gejala alam atau data statistik, melainkan cermin retak hubungan manusia dengan bumi yang ditinggalinya. Sejumlah pemikir spiritual dan filsuf kontemporer, termasuk Seyyed Hossein Nasr, melihat bencana ekologis sebagai “krisis spiritual”. Dalam perspektif ini, bencana bukan hanya hasil proses fisik, tetapi mengandung pesan mendalam: manusia telah salah memposisikan diri dalam struktur kosmos. Alam diperlakukan sebagai objek ekonomi, diperas tanpa batas, tidak lagi dipahami sebagai bagian dari ciptaan yang sakral. Kehilangan rasa hormat inilah yang disebut sebagai inti krisis-krisis moral, krisis spiritual, krisis paradigma terhadap alam.
Narasi bahwa bencana merupakan “wake-up call” spiritual semakin kuat ketika realitas ekologis menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Setiap tahun, tiga sampai lima propinsi di Indonesia hampir selalu masuk dalam daftar “zona bencana”: mulai dari wilayah Sumatera dan Kalimantan yang dilanda banjir, Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan ancaman longsor dan gempa dangkal, hingga Sulawesi dan Nusa Tenggara yang menghadapi kombinasi kekeringan, banjir bandang, dan abrasi pesisir. Dalam konteks ini, pemikiran Nasr dan sejumlah tokoh spiritual lain menyampaikan pesan penting: alam bukan musuh. Alam adalah amanah. Alam adalah ruang suci yang memuat kehadiran Tuhan dalam bentuk tanda-tanda kebesaran-Nya. Kerusakan ekologis yang terjadi sekarang merupakan akibat hilangnya etika sakral terhadap alam. Hutan dipandang hanya sebagai kayu. Sungai sebagai saluran limbah. Gunung sebagai lahan tambang. Dan tanah sebagai objek properti.
Bencana ekologis, dalam kacamata spiritual, mengingatkan manusia bahwa hubungan ini perlu diperbaiki. Ini bukan seruan untuk takut, tetapi seruan untuk sadar. Bencana menjadi cermin yang memantulkan kelemahan kolektif manusia dalam memelihara keseimbangan bumi, sekaligus membuka ruang introspeksi: adakah yang salah dalam cara kita membangun kota, memperlakukan tanah, mengelola istimewa sumber daya, dan memahami peran kita sebagai penjaga bumi?
Pemuka agama kini semakin mendapat peran strategis dalam edukasi mitigasi bencana. Mereka tidak hanya mengajarkan sabar dan tawakal, tetapi juga menekankan nilai syar‘i tentang menjaga alam. Dalam Islam, manusia disebut sebagai khalifah; pemelihara, bukan perusak. Maka, merawat hutan, sungai, tanah, dan makhluk lain adalah bagian dari ibadah dan etika iman. Ketika bencana semakin sering terjadi, wacana ekoteologi, pemahaman agama dalam konteks lingkungan, menjadi semakin populer. Ekoteologi mengajak manusia memandang alam sebagai bagian dari struktur keagamaan, bukan hanya konteks geografis. Dalam wacana ini, menjaga hutan adalah tugas moral, mengelola sampah adalah bagian dari kebersihan iman, menghormati air dan sungai adalah bentuk syukur, memelihara tanah adalah amanah spiritual.
Ekoteologi tidak bermaksud menggantikan kebijakan publik. Justru sebaliknya, menyediakan fondasi etis untuk pembangunan yang lebih lestari. Agama memberikan bahasa yang lebih dekat di hati masyarakat; sementara kebijakan publik menyediakan kerangka hukum dan teknis. Dalam konteks Indonesia, negara dengan masyarakat religious, ekoteologi menjadi jembatan antara spiritualitas dan realitas ekologis. Ketika banjir melonjak di kota-kota besar, ketika tanah longsor mengancam desa-desa pegunungan, dan ketika pesisir tenggelam akibat kenaikan muka air laut, wacana ekoteologi hadir untuk menanyakan: bagaimana iman, pembangunan, dan kepedulian ekologis dapat berjalan seiring?. Pertanyaan ini tidak lagi dianggap idealistis. Ia menjadi kebutuhan.
Meski memiliki daya inspiratif yang kuat, pendekatan spiritual terhadap bencana tidak bebas dari kritik. Ada kekhawatiran bahwa sebagian masyarakat justru menjadi pasif dengan melabeli bencana sebagai “takdir”, sehingga mengabaikan faktor penyebab yang nyata, misalnya: kerusakan hutan,alih fungsi lahan, buruknya tata ruang kota, penebangan liar, pembangunan yang tidak ramah lingkungan, dan perubahan iklim global. Ketika bencana dikaitkan sepenuhnya dengan divine will atau “peringatan”, sebagian orang cenderung mengalihkan fokus dari kebijakan dan tindakan nyata. Di sinilah tantangan muncul: bagaimana menyelaraskan spiritualitas dengan sains, moral dengan kebijakan, iman dengan mitigasi bencana?. Para pemikir ekoteologi justru menawarkan titik temu yang bijaksana: spiritualitas tidak boleh membuat manusia pasrah. Sebaliknya, spiritualitas harus memperkuat tanggung jawab. Keyakinan bahwa bumi adalah amanah menuntut manusia untuk bertindak, bukan diam. Doa tidak boleh menggantikan mitigasi. Tawakal tidak boleh mengabaikan peta risiko, drainase, atau tata ruang. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: spiritualitas sebagai fondasi etis, sains sebagai alat, dan kebijakan sebagai arah tindakan.
Salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah mendorong agar wacana ekologis yang spiritual tidak berhenti menjadi retorika, tetapi hadir dalam bentuk kebijakan konkret. Artinya: pembangunan harus memprioritaskan keselamatan ekologis, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi; pemetaan risiko bencana harus disiplin diikuti; alih fungsi lahan harus diawasi ketat, hutan dan wilayah penyangga harus dilindungi; ruang hijau harus diperluas dan partisipasi masyarakat harus diperkuat. Di sinilah agama dapat berperan strategis sebagai kerangka moral. Pemuka agama dapat mendorong narasi bahwa tanggung jawab ekologis bukan sekadar urusan pemerintah, tetapi bagian dari ibadah, akhlak, dan rasa syukur. Masjid, gereja, pura, dan vihara dapat menjadi pusat pendidikan ekologis. Teks-teks keagamaan dapat menjadi inspirasi gerakan lokal: dari penghijauan, pengelolaan sampah, hingga kampanye hidup sederhana dan hemat energi. Paradigma baru ini mengajak masyarakat untuk melihat alam bukan sebagai sumber daya semata, melainkan sahabat spiritual yang harus dijaga. Dengan kata lain, pembangunan harus memiliki jiwa. Karena itu, kesadaran ekologis harus dibangun dari dua sisi: Kesadaran spiritual yang menyadari bahwa alam adalah amanah dan bagian dari tatanan kosmis serta kesadaran ilmiah dan praktis yang menerapkan prinsip mitigasi, konservasi, serta tata ruang yang disiplin dan berkelanjutan. Menggabungkan dua hal ini bukan utopia. Justru di sinilah letak kekuatan Indonesia yang memiliki masyarakat yang religius dan kaya kearifan lokal, memiliki modal besar untuk membangun budaya baru dalam merawat bumi.
Bencana memang melukai. Tetapi ia juga mengajari. Ia mengingatkan manusia bahwa kehidupan di bumi bukan kontrak sepihak. Alam memberikan kehidupan, dan manusia wajib menjaga keseimbangan itu. Ketika kita lupa, bencana hadir sebagai panggilan untuk kembali. Bukan untuk menakut-nakuti, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengajak kita merenung: sudahkah kita memperlakukan bumi dengan hormat? Sudahkah kita memahami bahwa setiap pohon, setiap tetes air, setiap gunung memiliki nilai spiritual?. Dengan memahami bencana sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan ekologis, kita diajak membangun masa depan yang lebih bijaksana: masa depan di mana iman, ilmu, dan etika lingkungan berjalan bergandengan, menopang generasi mendatang, serta menyelamatkan bumi yang menjadi rumah terbesar manusia.(fsy)
***
Judul: Bencana Panggilan Spiritual untuk Menyadari Hubungan Manusia dengan Alam
Penulis: Febri Satria Yazid
Editor: Tiyut
