Beluk: Nyanyian Tanpa Musik yang Menjaga Jiwa Sunda
BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Rabu (08/10/2025) – Esai berjudul “Beluk: Nyanyian Tanpa Musik yang Menjaga Jiwa Sunda” ini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis/pengarang, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, ada satu suara yang nyaris tenggelam—suara yang dulu menggema di ladang, di huma, di tengah hutan. Suara itu adalah Beluk, seni vokal khas masyarakat Sunda yang dilantunkan tanpa iringan alat musik. Ia bukan sekadar nyanyian, melainkan panggilan jiwa, komunikasi lintas jarak, dan ekspresi spiritual yang kini terancam punah.
Beluk berasal dari kata “celuk” atau “caluk” yang berarti memanggil. Dahulu, masyarakat agraris Sunda menggunakan suara Beluk untuk berkomunikasi dari kejauhan—bisa satu hingga dua kilometer jauhnya. Di tengah hamparan sawah atau hutan, suara ini menjadi penanda, pemberi kabar, bahkan peringatan akan bahaya. “Woi, ayo!” bukan sekadar teriakan, tetapi bagian dari tradisi yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Namun Beluk bukan hanya alat komunikasi. Ia juga menjadi media kesenian yang sarat makna. Dalam berbagai ritual, Beluk digunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Ia menjadi jembatan antara dunia nyata dan spiritual, antara individu dan komunitas. Kesenian itu adalah komunikasi. Menegaskan bahwa Beluk adalah bagian dari sistem nilai masyarakat Sunda.
Tradisi Beluk diwariskan secara lisan, dari guru ke murid, dari sesepuh ke generasi muda. Namun, regenerasi kini menjadi tantangan besar. Upacara adat yang menjadi wadah Beluk perlahan menghilang. Anak muda pun enggan belajar karena menganggap Beluk tidak “seksi”—tidak menarik di mata generasi digital.
Orang yang ingin belajar Beluk pun kini sudah tidak ada, padahal seni tradisi ini bukan seni yang statis. Ia bisa berkembang, bertransformasi, bahkan berkolaborasi dengan bentuk seni modern. Beluk bisa dipadukan dengan musik barat, dijadikan bagian dari pertunjukan kontemporer, atau dipublikasikan lewat media sosial. Modernisasi bukan ancaman, justru menjadi peluang.
Harapan besar disematkan pada generasi muda. Mereka dianggap sebagai pendobrak, sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dengan kreativitas dan teknologi, anak muda bisa mengolah Beluk menjadi konsep baru yang tetap menghormati akar budayanya. Pemuda bisa mempublikasikan Beluk lewat media sosial. Maka akan jauh lebih cepat diingat kembali.
Beluk bukan hanya soal suara, tapi juga soal nilai. Ia mengajarkan adab, akhlak, dan keindahan hidup. Belajarlah budaya akan mendapatkan adab. Belajarlah agama akan mendapatkan akhlak. Hidup dengan seni terasa indah.
Kini, Beluk berada di persimpangan. Di satu sisi, ia terancam punah karena kehilangan ruang ekspresi dan regenerasi. Di sisi lain, ia punya peluang besar untuk bangkit kembali melalui kolaborasi dan inovasi. Saat ini yang dibutuhkan adalah kemauan untuk mendengar, memahami, dan menghidupkan kembali suara yang dulu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda.
Beluk bukan sekadar warisan budaya. Ia adalah identitas, cermin jiwa, dan nyanyian yang menjaga keberlangsungan nilai-nilai luhur. Di tengah dunia yang semakin bising, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan mendengarkan Beluk—suara yang tidak hanya memanggil, tapi juga mengingatkan kita akan siapa kita sebenarnya.
Beluk bukan hanya soal teknik vokal. Ia adalah cerminan dari cara hidup masyarakat Sunda yang menyatu dengan alam dan spiritualitas. Dalam praktiknya, Beluk dilantunkan dengan kekuatan suara yang mampu menjangkau jarak jauh—bahkan, hingga satu hingga dua kilometer. Pada masa lalu, ini menjadi cara efektif untuk berkomunikasi di ladang, huma, atau hutan, saat teknologi belum hadir.
Namun, seiring waktu, fungsi Beluk bergeser. Dari alat komunikasi menjadi seni pertunjukan, dari kebutuhan praktis menjadi ekspresi budaya. Dalam ritual adat seperti syukuran panen, kelahiran, atau khitanan, Beluk menjadi bagian dari prosesi sakral. Ia dilantunkan dalam bentuk syair yang saling bersahutan, mirip pupuh seperti asmarandana, kinanti, atau sinom. Nada-nada tinggi yang melengking menjadi ciri khasnya, membawa pesan-pesan moral dan spiritual. (Didin Tulus).
***
Judul: Beluk: Nyanyian Tanpa Musik yang Menjaga Jiwa Sunda
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.
Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.
Aktifitas dan Karir
Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.
Pengalaman Internasional
Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.
Kegiatan Saat Ini
Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.
Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.
***