ArtikelBerita Jabar NewsBJN

Bagaimana Ku Harus Melangkah Menyusuri Jalan Hidup Ini

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Kamis (27/03/2025) – Esai berjudul Bagaimana Ku Harus Melangkah Menyusuri Jalan Hidup Iniini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Matahari terbit lagi pagi ini. Langit memancarkan jingga yang meriah, menyapu gelapnya malam. Namun bagiku, semua itu hanya kisah yang diceritakan angin. Aku tak pernah benar-benar melihatnya. Dunia ini megah, mereka bilang— lautan biru, pegunungan hijau, bunga-bunga yang menari di tengah musim.

Namun, yang kurasakan hanyalah dinginnya lantai kamar, suara langkah orang-orang yang berlalu, dan kegelapan yang tak pernah benar-benar pergi. Seperti selimut yang menyesak, membungkus setiap tarikan napasku.

Didin Tulus
Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi – (Sumber: Didin KT/BJN)

Dulu, aku sering bertanya: Mengapa aku harus lahir begini? Di sudut-sudut sunyi, aku menangis sendiri. Tangisan yang tak terdengar, air mata yang mengering sebelum sempat jatuh. Caci, maki, hinaan—semua itu seperti lagu pengiring hidupku.

“Lihatlah si buta!” Bisik mereka, seolah kegelapanku adalah kutukan yang harus kusembunyikan.

Aku mencoba berlari, tapi ke mana? Kegelapan tak punya ujung. Aku terjebak dalam labirin nasib yang tak kupilih.

Hari-hari bergulir seperti air yang mengalir pelan. Pagi, siang, malam—semua terasa sama. Terkadang, aku membayangkan wajah matahari. Apakah ia hangat seperti suara ibuku? Ataukah ia tajam seperti tawa orang-orang yang menertawakanku? Aku tak tahu. Yang kuingat hanyalah suara. Suara dedaunan yang berdesir, langkah kaki yang berirama, dan desau angin yang membawa kabar dari tempat-tempat yang tak pernah kukunjungi.

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang kusadari: Aku masih bernapas. Napas ini, meski berat, adalah bukti bahwa aku masih ada.

Perlahan, aku mulai bertanya: Mungkin ini sudah suratannya? Suratan yang tak bisa kubah, tapi juga tak bisa kutinggalkan. Seperti benang merah yang dirajut oleh tangan tak terlihat, mengikatku pada takdir yang harus kujalani.

Suatu malam, saat dingin menusuk tulang, duduklah aku di tepi jendela. Angin malam membelai rambutku, membawa aroma hujan yang jauh. Tiba-tiba, ada suara. Bukan suara manusia, bukan juga suara alam. Suara itu berasal dari dalam, seperti bisikan halus, “Terimalah.” Aku tertegun. Menerima apa? Kegelapan? Kesendirian? Atau luka-luka yang terus menganga?

Namun, bisikan itu tak berhenti. Ia mengalun pelan, merangkul kepedihanku. “Kau tak sendiri,” katanya. “Kegelapanmu adalah kanvas. Lukislah sesuatu di atasnya.”

Aku terdiam. Lama. Lalu, untuk pertama kalinya, aku tersenyum. Sejak itu, perlahan kubuka diri. Kulepaskan dendam pada takdir. Kuserahkan segalanya pada Yang Kuasa. Bukan berarti luka-luka itu hilang—tidak. Caci maki masih datang, hinaan masih menyayat. Namun, kini ada sesuatu yang berbeda. Aku mulai merasakan dunia, bukan dengan mata, tapi dengan jiwa.

Kutemukan bahwa kegelapan punya bahasanya sendiri. Di dalamnya, ada musik yang tak terlihat: detak jantungku sendiri, desiran darah yang mengalir, bahkan getaran udara saat kupanjatkan doa.

Aku belajar mendengar warna: merah adalah panas, biru adalah dingin, kuning adalah harumnya melati di pagi hari. Pelan-pelan, dunia yang “megah” itu tak lagi asing. Ia hadir dalam bentuk lain—lebih halus, lebih dalam.

Suatu hari, seorang anak kecil memegang tanganku, “Maaf, Bunda bilang kakak tidak bisa melihat. Tapi kenapa kakak tersenyum?” tanyanya polos, lalu aku membelai rambutnya, “Karena sekarang aku bisa melihat dengan cara berbeda, Nak.”

Anak itu mungkin tak paham, tapi aku paham. Hidup ini memang tak pernah adil. Ada yang terlahir dengan sayap, ada yang terlahir dengan rantai. Namun, di balik semua itu, kita punya pilihan: meratapi rantai itu, atau menggunakannya sebagai alat untuk memahat makna.

Aku memilih yang kedua. 

Kini, saat matahari terbit, aku tak lagi bertanya mengapa kegelapan itu ada. Sebaliknya, aku bersyukur masih bisa merasakan hangatnya sinar yang menyentuh kulit. Saat hujan turun, aku tak mengutuk langit. Aku menadahkan tangan, merasakan tetesan yang seolah membisikkan, “Kau hidup. Kau berarti.”

Caci maki? Ia masih datang, tapi seperti angin malam, ia hanya berlalu. Tak lagi menyakiti karena aku telah menemukan benteng di dalam diri. Aku tak butuh penglihatan untuk tahu bahwa hatiku masih bisa bersinar—bahkan dalam gelap.

Mungkin inilah jawabannya. Jalan hidup ini memang terjal, tapi di setiap langkah, ada pelajaran. Kegelapan bukan akhir—ia hanya awal dari cara pandang yang berbeda. Bagaimana dengan nasib? Ia bukan algojo, tapi guru yang kejam, tapi jujur.

Aku masih menangis, sesekali. Namun, air mata itu kini punya rasa baru: bukan lagi kepahitan, tapi kelegaan. Kelegaan karena akhirnya aku mengerti: hidup bukan tentang melihat cahaya, tapi tentang menjadi cahaya—bahkan untuk dirimu sendiri.

Maka, kuputuskan: aku akan tetap melangkah. Dengan tongkat ketabahan, dengan hati yang terbuka. Sampai nanti, di ujung jalan, aku bisa berkata, “Aku tak sempurna, tapi aku cukup.”  Mungkin, di sana kegelapan akan akhirnya bercahaya. (Didin Tulus).

***

Judul: Bagaimana Ku Harus Melangkah Menyusuri Jalan Hidup Ini
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *