Cerpen “Jejak-Jejak Ikhlas”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Jejak-Jejak Ikhlas” ini merupakan karya original dari Febri Satria Yazid yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial. Penulis yang berasal dari Sumatra Barat ini merupakan anggota Kompeni (Komunitas Penulis Cimahi) dan kini menetap di Kota Cimahi.
Sudah terlalu banyak definisi ikhlas yang Taira dengar dari berbagai sumber, baik dari pengajian-pengajian yang dia ikuti di berbagai majelis taklim maupun dari ustaz atau pun ustazah. Demikian juga dari berbagai filsuf dan psikolog yang bertaburan di media sosial. Ada yang membahas pembagian ikhlas, ciri-ciri ikhlas, dan sebagainya.
Taira merefleksi, merenungkan kembali pengalamannya sendiri, melihat bagaimana definisi ikhlas yang disampaikan memberikan wawasan baru dan memperkaya pemahamannya dan dia bisa membandingkan antara teori dan praktik yang dia lakukan dalam menyikapi keadaan dan menerimanya dengan ikhlas.
Wanita ini merasa bersyukur telah melalui pengalaman yang membentuk pemahaman mendalam tentang keikhlasan. Tausiah atau seminar yang dia dengar tentang ikhlas menjadi momen baginya untuk bersyukur atas perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Betapa tidak, rentetan perjalanan hidupnya selama tiga dekade berumah tangga, ada hal yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Dia mengerti dan dengan kecerdasannya dalam menyelesaikan semua urusan yang dihadapi dengan landasan berpikir bahwa satu solusi tidak akan sulit ketika kita mengikhlaskan semuanya.
Baru saja menikah di kampung halamannya dengan lelaki pilihannya, suami Taira yang sama-sama bekerja di Bank swasta dimutasi ke Ibu kota. Keputusan kantor yang mengagetkan dan membuyarkan pikiran mereka untuk menikmati bulan madu. Malam hari mereka duduk di sofa membahas tentang kepindahan itu dan bersepakat bahwa untuk sementara waktu Taira tetap tinggal di kampung halamannya, sementara suami mempersiapkan segalanya untuk mereka layak hidup di ibukota negara dan setelah semuanya tersedia , baru Taira menyusul suaminya ke Jakarta.
Taira memegang tangan suami, “Aku masih tak percaya kita sudah menikah dan sekarang kamu harus pergi. Rasanya seperti mimpi.”
“Betul istriku. Aku juga merasakannya, sayang. Ini semua terjadi begitu cepat. Tapi aku berjanji, kita akan melalui ini bersama,” jawab suami Taira.
Taira menghela napas, “Aku tahu kamu harus pergi demi pekerjaanmu dan aku bangga padamu. Tapi aku tidak bisa memungkiri, aku akan sangat merindukanmu. Apa kamu yakin kita akan baik-baik saja? Aku takut, sayang”.
Ridho mengusap pipi istrinya, “Aku juga akan sangat merindukanmu. Setiap detik jauh darimu akan terasa seperti selamanya. Kita akan baik-baik saja. Cinta kita cukup kuat untuk menghadapi ini. Setiap malam aku akan merindukanmu di sisiku.”
Ketika hasil kesepakatan antara Taira dan Ridho disampaikan ke orang tua Taira, dengan tegas Ibu Taira menolak dan menyampaikan pemikirannya sesuai dengan ajaran yang mereka yakini bahwa istri mutlak harus berada di samping suami di mana pun suami bertugas.
“Nak, Ibu paham situasimu dan kebutuhan pekerjaan suamimu. Namun, dalam agama yang kita yakini, kebersamaan dalam rumah tangga sangat penting. Apakah kamu sudah mempertimbangkan bagaimana menjaga kebersamaan ini?” Ungkap Ibunya Taira.
Menurut Ibunya Taira, berpisah bisa membuka pintu fitnah dan godaan yang mungkin tidak disadari. Agama mengajarkan suami dan istri untuk saling menjaga keharmonisan rumah tangga dengan selalu bersama jika memungkinkan.
“Mungkin ada cara lain yang bisa dipertimbangkan agar tetap bersama?” Tanya Ibunya Taira.
Taira menanggapi pernyataan ibunya, “Ibu, aku juga tidak ingin berpisah, tapi ini hanya sementara. Aku takut jika ikut sekarang, akan menyulitkan kami berdua”.
Ibu Taira melanjutkan pernyataannya, “Kamu bicarakan lagi dengan suamimu, mencari solusi agar kamu bisa ikut atau mencari cara lain untuk tetap dekat. Ibu ingin kalian tetap saling mendukung dan menjaga rumah tangga kalian.”
Percakapan Taira dan ibunya disampaikannya kepada suaminya. Menyikapi pemikiran mertuanya, Ridho memutuskan untuk memboyong langsung istrinya ke ibu kota dan Taira pun tidak ingin melukai hati ibunya dan merasa senang dengan putusan suaminya, meski di satu sisi kegamangan itu tetap ada dalam pikiran Taira, tetapi di sisi lain ada hal yang menyenangkan karena mereka dapat menjaga keterikatan emosional, dapat menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga dalam menghadapi berbagai tantangan hidup bersama-sama.
Kejamnya ibu kota langsung mereka rasakan ketika pertama kali mendarat dan mencari tempat bermukim, biaya tinggal termurah (itu pun kamar kos yang berukuran 2 x 2 meter) telah menyedot 30% dari gaji suaminya. Taira sendiri setelah memutuskan ikut suami, juga memutuskan berhenti bekerja.
Dua bulan berada di Jakarta, Taira hamil. Kabar baik ini disambut gembira oleh Taira dan Ridho, juga oleh orang tua Taira (kedua orang tua Ridho telah meninggal dunia).
Memasuki bulan ketiga kehamilan Taira, berita duka yang mengejutkan datang dari kampung halaman. Ketika Taira sedang duduk di sudut ruang kos yang sederhana, memegang buku harian yang diisi dengan impian dan harapan untuk bayi yang tengah dikandungnya, tiba-tiba terdengar dering handphone yang nyaring memecah keheningan.
Taira menerima telepon dengan riang karena biasanya ayah Taira menelepon dan mereka bercerita tentang banyak hal yang masing-masing mereka lalui. Taira sangat senang mendengar suara ayahnya yang selalu menenangkan dirinya. Namun, suara di ujung sana berbeda, penuh kesedihan dan kepanikan.
“Taira, Ayah… Ayah meninggal dunia mendadak dan mengejutkan kita semua. Ayah mengalami serangan jantung,” ujar Ibu Taira sambil terbata-bata.
Dunia Taira seakan runtuh seketika. Handphone terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan bunyi yang nyaring, tetapi terasa jauh di telinganya yang kini hanya mendengar gema dari kabar mengerikan itu.
“Tidak… Tidak mungkin,” bisik Taira dengan mata membesar setengah tak percaya dengan apa yang baru terjadi.
Dengan langkah limbung, Taira jatuh berlutut di lantai, tangisnya pecah, menggema di kamar kos. Air mata deras mengalir, membasahi pipinya yang pucat.
“Ayah, tidak mungkin kau pergi secepat ini. Aku butuh kau, Ayah. Bayiku butuh kau,” isak tangis Taira sambil meremas perutnya yang mulai membesar.
Ingatan-ingatan manis bersama ayahnya seakan berkelebat di benak wanita muda itu. Tawa mereka di taman, nasihat bijak ayahnya setiap kali ia ragu, dan pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman. Kini, semua itu hanya menjadi kenangan yang tak kan pernah terulang. Ridho yang sedang berada di kantor, setelah menerima kabar duka dari ibu mertuanya, segera meluncur pulang menemui istrinya.
Taira menggenggam foto ayahnya yang selalu ada di meja samping tempat tidur, menatap dalam-dalam wajah yang begitu ia cintai, “Ayah, kenapa kau tinggalkan aku sekarang? Siapa yang akan mendengar keluh kesahku? Siapa yang akan mengajari anakku tentang kebaikan dan kasih sayang seperti yang selalu kau ajarkan padaku?”
Suami Taira bergegas menghampiri dan memeluk Taira dengan erat. Namun, pelukan itu tak mampu menghapus rasa kehilangan yang begitu mendalam.
“Aku di sini, sayang. Aku di sini,” ucap Ridho berulang kali, berusaha menenangkan istrinya. Namun, di tengah pelukan itu, Taira hanya bisa terisak, “Ayah… aku belum siap kehilanganmu. Aku butuh kau, Ayah.”
Hari itu, langit yang kelabu seakan turut berduka, menyelimuti Taira dalam kesedihan yang tak terperikan. Di tengah kesendiriannya, hanya satu yang ia panjatkan dalam doa, “Semoga Ayah tenang di sana, dan semoga aku bisa menjadi ibu yang kuat, seperti yang Ayah selalu percaya bahwa aku bisa.”
Hari-hari setelah berpulangnya ke Rahmatullah ayahnya, Taira sering menangis dan bermenung diri. Ridho tak mampu menghibur duka mendalam yang dirasakan istrinya.
Memasuki bulan keenam kehilangan ayahnya, rasa duka Taira terobat ketika anak pertamanya lahir, rasa suka cita dan rasa syukur mendalam mereka panjatkan ke hadapan sang Pencipta Kehidupan, atas kehadiran putri pertama Taira dan Ridho.
Keyakinan bahwa anak adalah pembawa rezeki merupakan pandangan yang diyakini oleh banyak budaya dan agama di seluruh dunia. Pandangan ini berakar pada keyakinan spiritual dan pengalaman empiris yang menunjukkan bahwa kehadiran seorang anak sering kali membawa berkah dan peningkatan rezeki bagi keluarga. Hal ini dirasakan dan dialami oleh keluarga Taira dan Ridho.
Setelah kehadiran anak pertama, setahun kemudian lahir lagi anak kedua. Taraf hidup keluarga Taira membaik dan meningkat pesat. Mereka mampu membeli rumah dan kendaraan yang memadai. Bahkan, setelah kehadiran anak ketiganya, suami Taira memutuskan berhenti dari Bank dan memilih untuk menjadi enterpreuner di bidang teknik dan pilihan Ridho merupakan pilihan yang tepat. Banyak proyek yang dia peroleh yang menyebabkan kocek keluarga pun meningkat pesat.
Sebagai mantan karyawan bank, Taira sangat piawai mengelola keuangan keluarga. Ketika ada rumah yang berada di sebelah rumahnya, Taira dengan sungguh-sungguh selalu berdoa, semoga kelak yang punya rumah tergerak untuk menjual rumah tersebut. Ternyata Allah mengabulkan doa Taira, akhirnya jadi milik keluarga Taira.
Saat krisis moneter 1998, situasi keuangan keluarga Taira mengalami penurunan tajam. Taira dengan sangat hati-hati mengelola aset dan beberapa aset dilepas untuk kelangsungan hidup keluarga mereka. Akhirnya perekonomian keluarga Taira kembali membaik dan stabil. Sementara itu usaha Ridho pun kembali bangkit. Karena anak-anak sudah beranjak dewasa, Taira mulai ikut berbisnis yang turut membantu perbaikan ekonomi keluarga.
Putusan Taira ikut berbisnis, malah jadi bumerang bagi keluarga mereka. Taira adalah wanita cerdas dan penuh semangat yang memutuskan untuk mendampingi suaminya dalam mengembangkan perusahaan mereka. Namun, sifat posesif sang suami perlahan menjadi duri dalam pernikahan mereka.
Di balik senyum manis dan kesuksesan bisnis yang mereka capai, tersembunyi ketegangan yang memuncak saat suaminya mulai merasa terancam oleh kemampuan dan pengaruh Taira dalam perusahaan. Ia kerap melarang Taira terlibat dalam keputusan besar, mencurigai setiap langkah yang diambilnya. Bahkan, ikut mengontrol dengan siapa Taira berkomunikasi.
Taira merasa terkekang. Namun, ia tetap berusaha sabar demi cinta dan komitmennya. Hubungan mereka nyaris runtuh ketika sebuah argumen besar terjadi, membuat Taira mempertanyakan apakah cintanya cukup kuat untuk menghadapi sifat suaminya yang tak mau berubah.
Taira menghadapi dilema dan rumah tangga mereka berada di ujung tanduk. Dalam kondisi hubungan yang kian buruk, Taira kehabisan akal menghadapi sikap Ridho dan akhirnya memilih untuk melakukan perenungan di sepertiga malam mohon petunjuk pada Allah SWT yang maha membolak balik hati manusia.
Hasil perenungannya, Taira memilih untuk berbicara dari hati ke hati, menyampaikan bahwa cinta dan kepercayaan adalah fondasi pernikahan yang sehat. Perlahan, suaminya mulai memahami bahwa posesifnya bukanlah bentuk cinta, melainkan ketakutan yang tak beralasan. Dengan usaha keras dari keduanya, mereka menemukan jalan untuk saling mendukung tanpa merasa terancam, menjadikan cinta mereka lebih kuat dari sebelumnya.
Taira ingat dengan kalimat yang ditulis oleh Gita Ayu Puspita, M. Psi, Psikolog. Menurut psikolog tersebut, ada dua dimensi ikhlas dalam psikologi, yaitu dimensi transenden dan personal. Transenden adalah di luar segala kesanggupan manusia.
Dalam psikologi, dimensi transenden ini merujuk pada hubungan ketika kita menyerahkan kembali kepada Allah. Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di hidup ini adalah ketetapan Allah. Dimensi transenden juga berarti suatu upaya melepaskan diri dari tekanan yang kita miliki dengan menyerahkan tekanan tersebut kepada Yang Maha Kuasa. Jika suatu terjadi, kejadian itu di luar kendali kita.
Dimensi transenden adalah ikhlas menyadari bahwa hal yang terjadi di alam semesta ini tidak semuanya di bawah kendali kita. Banyak hal yang terjadi di luar kuasa manusia. Sebab yang bisa mengendalikannya, yaitu penguasa alam semesta adalah Tuhan. Ikhlas itu bukan hanya soal agama, tapi juga diajarkan dalam psikologi. Ketika kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hidup kita, serahkanlah secara tulus dan terus terang kepada Allah mengenai ketidakmampuan kita. Ini sudah masuk ke dalam dimensi transedensi.
Dimensi Personal lebih kepada ketulusan. Ketulusan dalam memberikan kebaikan kepada orang lain secara personal. Segala yang kita lakukan tersebut untuk kekuatan transendental tanpa embel-embel lain. Dimensi personal menjadi sebuah aktivitas posesif seseorang untuk memberi atau melepaskan dan melakukan kebaikan tanpa agenda apa pun di baliknya.
Kedua dimensi transenden dan personal telah Taira dan Ridho beserta anak-anaknya lalui dengan baik. Untuk pencapaian ini, Taira dan Ridho sangat bersyukur.
Malam hari di teras rumah, ditemani sinar bulan dan suara gemercik air dari kolam kecil di taman, sambil memegang secangkir teh hangat, Taira berucap pada Ridho, “Sayang, kamu tahu? Setiap kali aku melihat bulan ini, aku teringat betapa beratnya perjalanan kita dulu. Tapi lihat kita sekarang, kita sudah melewati semuanya dengan ikhlas.”
Ridho merangkul istri dengan lembut, “Iya, cinta. Kita sudah melewati banyak hal dan semua itu mengajarkan kita untuk lebih berserah diri dan menerima takdir dengan lapang dada. Aku bersyukur setiap hari karena memiliki kamu di sisiku, keikhlasanmu adalah sumber kekuatanku”.
Taira tersenyum, menatap suami dengan penuh cinta, “Dulu, aku sering merasa takut dan ragu, terutama saat kita menghadapi masa-masa sulit, tapi kamu selalu mengingatkanku untuk berdoa dan berserah kepada Allah. Itu membuatku merasa tenang dan kuat.”
“Kita belajar bahwa ikhlas itu bukan sekadar menerima keadaan, tapi juga merelakan hati kita tetap tenang dan bersyukur atas setiap cobaan yang datang. Karena kita tahu, ada hikmah di balik semuanya,” ucap Taira
Ridho menggenggam tangan istri dengan erat , “Benar, sayang. Keikhlasan itu mengajarkan kita untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih tinggi, lebih transenden. Kita menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada penderitaan dari Allah SWT, tetapi yang kita alami merupakan wujud cinta-Nya dalam membimbing kita menuju kebahagiaan yang lebih hakiki.”
Malam terus berlanjut dengan keheningan yang indah, rasa cinta menghangatkan hati mereka, membawa kedamaian dan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka yang telah berusia tiga puluh satu tahun dalam cinta unik yang mereka perjuangkan dan berhasil mereka jalin.
Awalnya Ridho merekomendasikan temannya untuk menjadi pacar Taira dan ketika hal itu benar-benar terjadi, malah Ridho tidak terima dan perasaannya terganggu karena ternyata diam-diam Ridho mencintai Taira. Untung sahabat Ridho dapat mencermati perasaan Ridho dan mengalah karena tahu cinta Ridho begitu dalam kepada Taira. Meski telat menyatakan cintanya pada Taira, akhirnya mereka berjodoh dan bersatu dalam biduk yang hingga tiga puluh satu tahun dikayuh bersama. (Febri Satria Yazid).
***
Judul: Jejak-Jejak Ikhlas
Pengarang: Febri Satria Yazid
Editor: JHK