Ngopi Jilid 2: PMII Rayon FISIP Unila Bahas Urgensi Izin Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan
BERITA JABAR (BJN), Bandar Lampung, Kamis (29/08/2024) – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) menggelar diskusi bertema “Urgensi Izin Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan: Di Mana Nilai-Nilai Etika terhadap Lingkungan Hidup sebagai Prinsip Hubungan Manusia dengan Alam?“ Acara ini berlangsung di Mimbar FISIP Unila pada Rabu (28/08/2024) kemarin.
Diskusi ini menyoroti kebijakan terbaru Presiden Joko Widodo yang menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 pada 30 Mei 2024. Peraturan ini mengatur tentang izin usaha pertambangan yang khusus diberikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk ormas keagamaan. Hingga saat ini, dua ormas besar di Indonesia, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah yang telah menerima konsesi tambang tersebut.
Dodi Faedluloh, pengamat kebijakan publik sekaligus akademisi dari Unila menyatakan bahwa ia akan fokus pada aspek kebijakan publik dalam diskusi ini.
“Dari segi etika, ini menjadi permasalahan karena ormas juga memiliki tanggung jawab moral, terutama ormas keagamaan. Terlebih lagi, jika kita merujuk pada fatwa PBNU tahun 2015 yang mengharamkan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan,” ujar Dodi.
Akademisi Unila tersebut juga menambahkan bahwa dalam melihat kelahiran ormas yang berbasis komunitas, seharusnya ormas tersebut memiliki otonomi dari kepentingan negara, swasta, maupun kapital.
“Namun, dalam konteks ini, ormas justru terkesan merapatkan diri dan terjebak dalam proses tambang, yang mana hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi oleh ormas tersebut,” tambah Dodi.
Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih menyatakan bahwa ia akan berbicara dari sudut pandang ekologi karena organisasinya memang fokus pada isu konservasi.
“Tambang, baik itu tambang batu bara, tambang emas, maupun tambang silika seperti pasir kuarsa—di Lampung, pasir kuarsa memang cukup tinggi—tidak ada yang memiliki nilai keberlanjutan atau kelestarian. Semua menimbulkan berbagai macam persoalan, baik itu konflik sosial, konflik ekologi, maupun konflik ekonomi,” jelas Febrilia.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih tersebut menegaskan bahwa PBNU, sebagai ormas keagamaan, tidak memiliki pengalaman dalam menjalankan aktivitas ekstraktif seperti penambangan.
“Untuk mempersiapkan instrumen dalam aktivitas penambangan, prosesnya cukup panjang dan membutuhkan modal yang sangat besar. Ormas keagamaan seperti PBNU tidak memiliki pengalaman di bidang ini,” tegas Febrilia. (Annisa/BJN).
***
Judul: Ngopi Jilid 2: PMII Rayon FISIP Unila Bahas Urgensi Izin Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan
Kontributor: Annisa Sabrina Hanum
Editor: JHK