BeritaBerita Jabar NewsPerguruan Tinggi

Ancaman terhadap Kebebasan Pers: Regulasi yang Menindas Hak Demokrasi

BERITA JABAR (BJN), Bandar Lampung, Jumat (07/06/2024) – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) menggelar Ngobrol Santai Perkara Isu (Ngopi) jilid 1 dengan tema “Ancaman Kebebasan Pers Ketika Regulasi Membrangus Hak Demokrasi” di Mimbar FISIP Unila pada Kamis, (06/06/24).

Kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum terkait dengan media dan berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memungkinkan media massa untuk menyampaikan beragam informasi, memperkuat,  dan mendukung warga negara agar berperan aktif dalam demokrasi.

Akademisi FISIP Unila, Dr. Feri Firdaus,S.I.Kom., M.A., mengatakan bahwa pers tidak harus netral karena tidak ada satu pun kata “netral” dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Ditekankan bahwa pers harus independen, bukan netral. Netral berarti tidak memihak sedangkan independen berarti boleh berpihak berdasarkan kebijakan dan kesadaran diri redaksi.

Suasana acara diskusi bertema "Ancaman Kebebasan Pers Ketika Regulasi Membrangus Hak Demokrasi” yang digelar PMII FISIP Unila pada Kamis (06/06/2024) kemarin - (Sumber: Annisa Sabrina Hanum)
Suasana acara diskusi bertema “Ancaman Kebebasan Pers Ketika Regulasi Membrangus Hak Demokrasi” yang digelar PMII FISIP Unila pada Kamis (06/06/2024) kemarin – (Sumber: Annisa Sabrina Hanum)

“Pers tidak harus netral, tidak ada satupun kata netral dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Pers itu harus independen, bukan netral . Netral itu tidak memihak sedangkan independen boleh berpihak atas dasar kebijakan kesadaran diri redaksinya,” ujar Feri.

Menurut Feri, prinsip-prinsip dalam pers harus mengedepankan sisi kemanusiaan, hak asasi manusia, dan prinsip demokrasi. Selain itu, pers harus bebas dari tekanan otoritarianisme negara, serta bebas untuk menyampaikan segala informasi secara independen.

Baca juga: PMII FISIP Unila Gelar Kelas Nalar Filsafat – (beritajabar.news)

“Maka prinsip-prinsip dalam pers itu pasti mengedepankan sisi kemanusian, hak asasi manusia, prinsip demokrasi, serta pers itu harus bebas dari dan bebas untuk, bebas dari tekanan otoritarianisme negara, serta bebas untuk menyampaikan segala informasi secara independen,”  tambah Feri dengan serius.

Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Lampung, Rizky Prima Arya, S.H., mengungkapkan tentang keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers dalam revisi UU Penyiaran atau RUU-nya seolah-olah ingin dibenturkan, baik dari segi kewenangan maupun ranah kedudukan mereka.

“Kedudukan KPI seharusnya jelas. Namun, dalam revisi UU tersebut, ada penekanan yang seolah-olah ingin mengambil alih perannya, meskipun Dewan Pers sudah menjalankan fungsinya, termasuk dalam penyelesaian sengketa, ruang gerak, KPI mulai dipersempit dan dibatasi,” ungkap Rizky.

Salah seorang mahasiswa sedang bertanya kepada narasumber dalam acara Ngobrol Santai Perkara Isu (Ngopi) jilid 1 yang digelar PMII FISIP Unila pada Kamis (06/06/2024) kemarin - (Sumber: Annisa Sabrina Hanum)
Salah seorang mahasiswa sedang bertanya kepada narasumber dalam acara Ngobrol Santai Perkara Isu (Ngopi) jilid 1 yang digelar PMII FISIP Unila pada Kamis (06/06/2024) kemarin – (Sumber: Annisa Sabrina Hanum)

Ketika KPI ingin mengatur tata kelola penyiaran, tambah Rizky, mereka harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Makna konsultasi ini perlu didalami lebih lanjut karena berkonsultasi cenderung memiliki arti tersirat tertentu.

“Tentang adanya KPI dan Dewan Pers yang seolah-olah dalam UU Revisi Penyiaran atau RUU-nya itu seolah-olah ingin dibenturkan, mulai dari kewenangan, mulai dari ranah kedudukannya itu seolah-olah dibenturkan. Jelas KPI kedudukannya sebagai apa sedangkan di UU Revisi itu ditekankan mengambil alih. Ya sudah, memang berjalan di Dewan Pers, baik itu dalam penyelesaian sengketa, kemudian untuk urusan KPI sendiri itu mulai di persempit ruang geraknya, mulai di batasi,” jelas Rizky panjang lebar.

Rizky menambahkan, ketika KPI ingin mengatur tata kelola penyiaran, itu harus berkonsultasi dulu dengan DPR. Makna konsultasi tersebut menurutnya akan  didalami lagi karena berkonsultasi condong akan terlihat ada tanda kutipnya.

Baca juga: BEM FISIP Unila Gelar Diskusi Mengatasi Banjir di Bandar Lampung – (beritajabar.news)

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Andika Nolbadian berpendapat bahwa diskusi ini sangat penting untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada mahasiswa tentang pentingnya kebebasan pers yang harus tetap dijamin. Kebebasan pers dianggap sebagai salah satu pelengkap dari trias politica, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan tujuan mengontrol ketiga kekuasaan tersebut dan berfungsi sebagai penyeimbang.

“Diskusi ini dilaksanakan sejatinya untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada mahasiswa tentang pentingnya kebebasan pers itu tetap dijamin karena kebebasan pers merupakan salah satu pelengkap dari trias politica yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Gunanya untuk mengontrol tiga kekuasaan tersebut dan menjadi penyeimbang,” pungkas Andika. (Annisa/BJN).

***

Judul: Ancaman terhadap Kebebasan Pers: Regulasi yang Menindas Hak Demokrasi
Kontributor: Annisa Sabrina Hanum
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *