Seberapa Pentingkah Ijazah?
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI – Artikel “Seberapa Pentingkah Ijazah?” karya Khoirun Nisa’ul Abidah atau dikenal dengan nama Anisa AE yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan owner AE Publishing.
Okelah, saya selalu minder jika membahas soal ijazah. Apalah saya yang cuma lulusan SMP. Hoax? Serius. Saya memang hanya lulusan SMP. Mau percaya atau tidak, itu urusan pembaca.
Dengan kekurangan saya soal ijazah itu, saya tak pernah deal jika ada proyek besar. Beberapa klien yang pernah ke kantor pun tidak pernah terlihat lagi saat saya mengatakan hanya ijazah SMP. Haruskah saya berbohong untuk menutupi hal itu? Walaupun editor dan layouter saya ada yang S1.
Selalu para klien memilih owner penerbit dengan ijazah minimal S1, walaupun pada kenyataannya semua dikerjakan sendiri oleh owner tersebut mulai dari editing, layout, cover, dll. Bahkan, saat ini ada sebuah penerbit dengan owner yang luar biasa, tapi hasil bukunya standar. Kenapa saya berkata begitu? Ya itu yang dikatakan oleh guru tersebut yang masuk pada angkatan pertama.
Setelah saya kepo banget dengan penerbit baru itu, saya temui satu kenyataan. Banyak yang percaya dengan titel beliau, walaupun hasilnya kurang memuaskan. Jauh berbeda dengan saya yang selalu dianggap sebelah mata karena ijazah.
Mungkin memang ada beberapa yang tidak memandang sebelah mata, tapi itu pun hanya bisa dihitung dengan jari.
Saya minder? Sangat. Saya tidak pede? Betul sekali.
Tiba-tiba semua ilmu yang saya peroleh berasa menguap. Ilmu yang saya ambil dari kehidupan berasa tak ada artinya saat dibandingkan dengan ijazah.
Saya tahu jika lemah, tapi tak sanggup rasanya bangun jika ada yang mengungkit masalah ijazah. Walaupun profil saya pun sudah pernah masuk koran, majalah, dan media online, tapi rasanya tetap berbeda.
Seberapa pentingkah ijazah? Itu yang ada di pikiran saya. Akhirnya saya ikut kejar Paket C pada tahun 2012, lalu kuliah lagi di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2019 dan lulus pada tahun 2023 kemarin. Waktu kuliah tujuh semester dengan IPK 3,71.
Bangga? Tentu saja, tapi rasa minder itu selalu ada karena saya merasa berjuang sendirian. Saya merasa kalah dari yang lainnya. Padahal saya sudah sering mengisi tentang kepenulisan di kampus dan sekolah. Bahkan, sudah punya beberapa buku juga.
Sampai akhirnya mengenal Ayah Imam Muhajirin Elfahmi dan belajar di kelas GLC. Ayah selalu mengatakan bahwa manusia itu diciptakan sempurna dan semua pasti bisa. Manusia itu berdaulat dan bermartabat, tidak boleh kalah. Sungguh, kalimat Ayah selalu memotivasi, “Kalah itu menjijikkan.”
Apalagi didukung dengan hasil tes Priadi bersama Coach Dedi Priadi yang hasilnya 144, very superior. Saya jadi semakin yakin kalau memang seorang pembelajar dan diciptakan untuk menjadi leader. Jadi, tugas saya adalah belaar dan belajar lagi.
Tambahan tes Stiffin bersama Bu Dokter Asriana Kibtiyah yang membuat saya tahu kalau ternyata saya ini Fe.
Ditambah semangat yang ditularkan oleh Abi Darwis Darmadji Harsono, semangat untuk membuat apa yang kita lakukan menjadi sempurna. Semua harus direncanakan dengan baik mulai dari bangun tidur sampai tidur pagi. Tak boleh ada kesalahan. Abiku yang kuat, tapi hatinya seperti Hello Kitty.
Tentunya dukungan Papi Ricko Sugyanto yang terus memberikan semangat dan masukan walau hanya di dunia nyata. Kami belum pernah bersua, tapi rasanya seperti sudah mengenal lama. Papi adalah orang yang membuatku ingin pergi ke Amerika, padahal bahasa Inggris saja belum bisa.
Cak Salim Suharis yang luar biasa sabarnya juga, mendampingi di dalam setiap kelas. Bahkan, beliau adalah salah satu coach kesayangan karena kesabarannya. Namun, dari Cak Salim ini saya belajar untuk mengolah diri, mengubah yang tidak bisa menjadi bisa. Mengubah marah menjadi sabar luar biasa.
Terima kasih juga buat sahabat baru, Alka Azzwars yang sudah memberikan ide dan motivasi. Sebuah ide dan gagasan yang bahkan saya tidak berani memikirkannya. Terima kasih sudah membuat saya menangis sebelum ujian, sampai nangis dan tremor karena tidak percaya diri dengan apa yang akan saya lakukan.
Mimpi ini terlalu tinggi. Sampai akhirnya saya harus video call dengan terapis agar bisa lebih baik. Walaupun masih tremor dan nangis lagi setelah ujian bareng Coach Mohamad Ikhsan. Saat itu, saya benar-benar merasa sendirian dan butuh dukungan. Btw, makasih ya, Sob.
Makasih juga pada coach kesayangan yang selalu saya bikin pusing dengan masalah-masalah kantor, Masku Maulana Malik Hasibuan. Dari awal GBC sudah mendampingi sampai Subuh. Bahkan, rela tidak tidur juga untuk menghasilkan final project. Eh di GLC masih direpotin juga sama curhatan dunia nyata. Maafkan diriku.
Makasih buat Abu Sena Wijanarko yang selalu membuat warna seru di kelas, bantuin di tempat gym juga. Jika kita ngobrol, selalu seru, seperti teman lama. Doa-doa baik buat kamu dan keluarga ya. Orang yang tidak mau dipanggil dengan nama Mas Abu, maunya Abu aja. Eh btw saya siap kalau mau jadi besan, hehehe.
Duh, saya nulis ini sambil berkaca-kaca. Kayaknya GBC depan harus ikut lagi deh sebagai alumni. Buat yang mau daftar kelasnya, bisa langsung hubungi Bu Henny Nurhandayani. Pasti juga akan bertemu dengan para coach keren dan teman baru. InsyaAllah akan mendapatkan banyak ilmu jika datang dengan ember kosong. Maaf, kalau gelas terlalu kecil.
Salam bahagia dan penuh cinta. (Anisa AE).
***
Judul: Seberapa Pentingkah Ijazah?
Penulis: Khoirun Nisa’ul Abidah, penulis, penggiat buku, dan owner AE Publishing.
Editor: JHK