ArtikelBerita Jabar NewsOpini

Masihkah Kerbau Dihormati Petani di Indonesia?

BERITA JABAR NEWS (BJN)Kolom OPINI – Artikel berjudul “Masihkah Kerbau Dihormati Petani di Indonesia?” merupakan karya tulis Indra Nanda Awalludin, seorang penulis muda asal Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang menekuni topik sejarah dan sosial humaniora.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia. Bagi petani, keberadaan traktor mempermudah mereka mengolah lahan. Imam Suprayogo, dalam artikel berjudul Akibat Kemajuan Ilmu dan Teknologi Ternak Sekalipun Kehilangan Perannya mengatakan bahwa petani lebih memilih menggunakan traktor untuk pengolahan lahan dibandingkan tenaga hewan ternak karena dianggap lebih praktis dan tidak banyak mengeluarkan biaya produksi.

Di balik revolusi pertanian dalam bentuk traktor, terdapat kerbau yang mulai tersisih dan terpinggirkan. Dilansir pemberitaan Detik, para penjual jasa bajak tradisional kini kehilangan pendapatan dan mata pencaharian mereka seiring dengan penggunaan traktor dalam pertanian. Seorang penjual jasa bajak tradisional asal Klaten, Wardiyo mengaku sepi orderan semenjak traktor mulai lazim digunakan. Ia berpendapat, membajak sawah menggunakan kerbau hasilnya lebih baik dan bermanfaat bagi kesuburan tanah.

Bajak sawah
Ilustrasi: Dua orang petani sedang membajak sawah dengan memanfaatkan hewan kerbau – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Meski terpinggirkan, ada sebagian petani yang masih bertahan menggunakan kerbau untuk membajak sawah. Mengutip situs resmi pemerintah Kota Pariaman, seorang petani bernama Panil tetap bertahan menggunakan alat bajak tradisional. Ia mengatakan bahwa alat bajak tradisional dinilai mampu mempertahankan humus tanah dan kualitas padi.

Imajinasi petani terhadap kerbau masih melekat, meski telah digantikan oleh mesin traktor. Merujuk perjalanan masa silam, kerbau merupakan hewan yang memiliki hubungan erat dengan manusia dan mendapatkan kedudukan penting. Bahkan, dikultuskan dalam kebudayaan kita.

Bajak sawah pakai traktor
Ilustrasi: Seorang petani sedang membajak sawah dengan menggunakan traktor – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Dalam artikel berjudul Peranan Kerbau dalam Masyarakat Jawa Dahulu dan Sekarang, T.M. Rita Istari mengungkapkan bahwa kerbau sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman neolitikum dan telah dimanfaatkan untuk berladang. Bahkan, dalam budaya megalitikum, kerbau kerap dijadikan sebagai korban persembahan, dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan.

Rita Istari juga mengatakan bahwa terdapat beberapa prasasti, arca, dan kitab kesusastraan kuna yang memiliki kaitan dan pembahasan tentang kerbau. Sebagai contoh, dalam Nagarakretagama dan kitab Calon Arang, kerbau dimanfaatkan daging dan tenaganya, masing-masing untuk konsumsi dan membajak sawah. Tidak hanya itu, dalam kitab Pararaton, kerbau dijadikan sebagai nama orang, seperti Kebo Hijo, Kebo Tengah, atau Kebo Mundarang.

Kerbau memiliki peranan yang begitu penting bagi kehidupan manusia Indonesia. Namun, fungsinya untuk membajak sawah tampaknya lebih menonjol. Oleh sebab ini, hubungan petani dan kerbau tampak begitu erat. Dapat dikatakan, di mana ada petani, di situ ada kerbau; petani dan kerbau merupakan sahabat yang tak terpisahkan.

Dalam budaya Sunda, misalnya, terdapat beberapa tradisi yang melibatkan kerbau. Salah satunya adanya tradisi mikanyaah munding, yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “menyayangi kerbau”.

Apa sebenarnya tradisi mikanyaah munding ini? Gugun Gunardi dalam tulisannya berjudul Peran Budaya ‘Mikanyaah Munding’ dalam Konservasi Seni Tradisi Sunda menjelaskan bahwa tradisi tersebut merupakan tradisi selamatan anak kerbau ketika masih berusia satu sampai dengan tujuh hari dan ketika anak kerbau memasuki usia 40 hari sebagai hari terakhir untuk dilakukan selamatan.

Gugun juga menjelaskan bahwa tradisi Mikanyaah Munding ini merupakan bentuk kasih sayang sang pemilik karena dinilai sangat berjasa, khususnya dalam hal membajak sawah.

Selain tradisi mikanyaah munding, terdapat juga tradisi ngawuluku. Dilansir dari situs inimahsumedang.com, ngawuluku adalah tradisi petani Sunda sebelum melakukan penanaman padi. Dalam kegiatan ngawuluku, petani selalu bersenandung untuk kerbau yang populer disebut mideur. Kakawihan atau tembang mideur tersebut berbunyi:

Mideur, kieu, arang, luput
Mideur teh hartina malik
Ari arang mah kaliwat
Lamun kia sisi teuing
Luput teh nya mengkol tea
Eta kawih keur ilaing

Kata-kata yang terdapat dalam tembang mideur bukan hanya sekadar kata tanpa makna, tetapi itu adalah cara petani berinteraksi dengan sang kerbau. Lantas, apa tujuannya dan apakah kerbau memahami bahasa yang diucapkan petani?

Beberapa kata dalam tembang mideur tersebut bisa dipahami kerbau dan hal itu bertujuan untuk mengarahkan kerbau ketika membajak sawah atau ngawuluku.Beberapa kata yang diucapkan petani dalam tembang itu di antaranya adalah kiya yang berarti bahwa kerbau harus berjalan lurus. Kemudian kalen yang berarti bahwa kerbau harus bergerak perlahan-lahan. Juga mideur yang berarti agar kerbau tetap berjalan dan tidak boleh berhenti.

Bajak sawah
Ilustrasi: seorang petani sedang membajak sawah dengan kerbau. Dalam tradisi masyarakat Sunda, petani akan menyanyikan tembang kepada si kerbau – (Sumber: Bing Image Creator AI/Dall-E)

Dalam artikel berjudul Etnisitas Sunda dalam Novel Perempuan Bernama Arjuna 6 Karya Remy Silado yang disusun oleh Miftahul Malik dkk., disebutkan bahwa terdapat relasi antara etnis Sunda dan Cina.

Dalam novel tersebut, terdapat beberapa istilah Sunda yang merupakan hasil dari relasi kedua etnis tersebut. Sebagai contoh, dalam bahasa Sunda, ngawuluku adalah kegiatan membajak sawah yang berasal dari kata kerja wuluku, berarti sebuah alat dari kayu yang biasanya ditarik kerbau untuk membajak sawah yang diberi imbuhan nga-, dan dalam bahasa Cina, kata wuluku diambil dari 3 kata, yakni wu berarti “lima”; lu berarti “bajak”; dan ku yang berarti “jenis padi-padian yang harus dibajak sebelum dituai”.

Melihat tradisi yang melibatkan kerbau masih lestari di tanah Sunda, menandakan bahwa kerbau masih memiliki tempat dalam imajinasi petani di Indonesia. Peran kerbau dalam membajak sawah memang hampir kehilangan relevansinya, tetapi kerbau masih memiliki tempat di hati sebagian petani. Hubungan antara kerbau dan petani tak bisa diputuskan begitu saja. Terlebih, hubungan tersebut telah dibangun selama ratusan tahun dan mengalami sejarah yang amat panjang.

Terakhir, pertanyaan menarik untuk kita renungkan adalah, apakah ada masa ketika kerbau kehilangan peran sepenuhnya? Bagi petani, yang mengalami transisi dari kerbau kepada traktor agaknya kerbau masih hinggap dalam kenangan mereka, meski tidak lagi digunakan untuk membajak sawah. Namun, berpuluh-puluh tahun kemudian, peran kerbau mungkin mulai dilupakan karena para petani muda lebih akrab dengan traktor.

Bersamaan dengan hilangnya eksistensi kerbau di sawah, berbagai tradisi unik yang berhubungan dengan kerbau, seperti ngawuluku atau menyenandungkan tembang mideur akan punah. Namun, tradisi lainnya yang melibatkan kerbau, seperti numbak kerbau di Bengkulu atau kirab kebo di Keraton Solo yang diperingati setiap satu Suro agaknya akan tetap eksis, selama generasi mendatang mau dan tertarik melestarikan tradisi tersebut.

Zaman terus berganti. Kemajuan teknologi bukanlah hal yang perlu ditakuti atau dihindari. Manusia mesti adaptif menghadapi perubahan zaman sehingga tidak menjadi manusia pasif, diam di tempat, dan memandang teknologi sebagai momok yang menakutkan.

Begitu pula dengan revolusi alat membajak sawah yang seharusnya dipandang sebagai bentuk kemajuan peradaban manusia dalam sektor pertanian. Meski, kemajuan tersebut harus membuat kerbau harus tersisih tersisihkan dalam imajinasi petani.

Seandainya kerbau kehilangan peran sepenuhnya dalam kehidupan manusia Indonesia, baik dalam pertanian maupun tradisi lainnya maka biarlah kerbau tercatat dalam sejarah kebudayaan kita. Bagaimana pun kerbau pernah memiliki tempat terhormat dan jasa yang besar bagi manusia. Sudah sepatutnya kita berterima kasih kepadanya, dengan selalu mengingat peran yang ia tinggalkan sepanjang jalan kenangan. (Indra Nanda Awalludin/BJN).

***

Judul: Masihkah Kerbau Dihormati Petani di Indonesia?
Penulis: Indra Nanda Awalludin
Editor: JHK

Profil Penulis:

Indra Nanda Awalludin, penulis muda asal Majalengka yang menekuni topik sejarah dan sosial humaniora. Saat ini menjadi penulis tetap untuk media kesejarahan Historical Meaning.

Catatan:

Tulisan ini  sudah pernah terbit di media online Historical Meaning dalam website historicalmeaning.id dan atas seizin penulis dan editor media tersebut diterbitkan kembali di BERITA JABAR NEWS.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *