Cerpen “Farid Terperangkap Purbasangka”
Berita Jabar News (BJN) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Farid Terperangkap Purbasangka” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Farid punya kebiasaan bagus, kemanapun pergi tidak pernah lupa berpamitan pada istrinya. Begitupun dini hari itu. Selesai berwudu, dia menemui istrinya di kamar.
“Apah ke musola dulu Mah. Itu air putih hangatnya sudah siap di meja ya,” kata Farid.
“Ya Pah, terimakasih. Jangan lupa doa untuk kita ya,” kata istrinya dengan suara lemah.
Istri Farid sedang menjalankan saran dokter untuk banyak istirahat dan mengurangi pikiran.
“Insyaallah Mah,” jawab Farid.
Farid lalu melangkah cepat menuju musala. Udara dingin dan gerimis dini hari itu sama sekali tidak menjadi penghalang. Digunakannya sajadah untuk melindungi kepalanya dari tetesan air gerimis. Sarungnya dia tinggikan agar tidak terciprat air jalanan.
Pagi itu Farid sudah mulai merasa nyaman kembali berjamaah di musala, satu-satunya tempat ibadah bagi muslim di lingkungannya. Di sana warganya memiliki beragam pekerjaan. Ada pedagang, buruh, supir, guru, pensiunan, dan beberapa ASN.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Subuh itu Farid lebih khusyuk dan lebih menghayati kalamullah yang dilantunkan imam. Ayat-ayat itu seakan larut mengalir dalam darahnya dan menyebarkan kesejukan ke dalam jiwanya.
Kekhusyukan membuat jiwa Farid bergetar, mata basah, dan mulut tercekat. Suasana batin yang sempurna untuk bermunajat. Pada saat seperti itu, Farid memanjatkan doa untuk kesehatan istrinya. Sebelum pulang dia menyempatkan diri sujud syukur.
Farid pantas bersyukur. Sebelumnya ada saja orang yang mengganggunya sehingga mengurangi khusyuknya. Gangguan muncul akibat perasaan kurang diterima oleh beberapa orang yang lebih dulu biasa berjamaah di musala.
Lelaki berperawakan sedang ini beberapa kali ngeluh ke istrinya ingin berhenti berjamaah. Beberapa kali membawa pulang cerita keluh kesah. Setiap kali itu pula istrinya mendorong untuk tetap pergi berjamaah.
“Mah, kayaknya sampai sekarang belum semua orang mushola menerimaku kembali berjamaah. Rasanya nyesek banget,” ujar Farid.
Namun istri Farid terus mendorongnya, seraya berkata, “Cuek saja. Bagi laki-laki itu lebih afdol sholat berjamaah Pah. Jangan lewatkan.”
“Iya betul, Imam juga ngomong begitu, tapi tetap saja ada ganjalan Mah,” kata Farid.
Karena setiap kali pulang selalu mengeluh, istrinya bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, “Emang mereka ngomong apa sih Pah?”
“Mereka sih gak ngomong apa-apa, hanya jengah rasanya kalau ada yang melirik-lirik menyelidik gitu, apalagi bibirnya terlihat nyinyir,” jawab Farid.
“Ah, enggak usah dipikir Pah, kan mereka juga gak ngomong apa-apa,” kata istri Farid mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Memang sih, tetapi mulutnya itu loh, menyeringai kayak ngomong begini Mah. Pasti Farid sedang susah, datang ke mushola lagi dia,” kata Farid menirukan apa yang kira-kira mereka omongkan.
Belum lagi istrinya menanggapi, Farid menambahkan, “Sudut matanya Mah, tajam menusuk, seolah bilang, ‘ah, dia datang lagi, kemarin ketika bahagia, ke mana?’”
“Hallaaah, Apah baperan banget sih, yang seperti itu enggak perlu dipikir, siapa tahu mereka memang lagi sariawan,” kata istri Farid sambil menunjuk mulut, “Atau jangan-jangan itu khayalan Apah sendiri, belum tentu mereka seperti yang Apah sangka.”
Farid belum berhenti curhat, “Amah enggak ngalami sendiri sih, ada juga yang ogah-ogahan bersalaman, tangan dijulurkan, tapi muka entah ke mana.”
“Pokoknya menyebalkan sekali Mah!” Ujar Farid dengan suara meninggi.
Istri Farid diam tidak menyahut, khawatir hanya akan menambah emosi suaminya. Perempuan cantik ini khawatir cerita suaminya itu tidak lebih dari prasangkanya saja.
“Emang dari sekian jamaah, tidak ada yang baik Pah?” Tanya istri Farid.
“Ada dong Mah, imam sholatnya baik, tambah dua atau tiga orang yang terlihat ramah dan terlihat senang kalau aku datang,” kata Farid.
Si istri langsung menyambar, “Ya sudah, dekat-dekat mereka saja, siapa tahu Apah ketularan menjadi baik.”
“Ketularan menjadi baik? Loooh Mah, emang aku kurang baik apa?” Kata Farid dengan suara meninggi.
Farid akhir-akhir ini emosinya mudah tersulut.
“Eehh maaf Pah, maksudku, Apah yang sudah baik ketularan menjadi lebih baik lagi, gitu Pah, maaf,” kata istri Farid mengalah.
Istri Farid tidak ingin obrolan berubah menjadi pertengkaran.
“Yang bener aja Mah,” jawab Farid dengan suara menurun.
Dalam hati, Farid membenarkan saran istrinya itu. Dia juga menaruh hormat pada imam dan beberapa orang yang ramah dan baik itu. Wajah mereka selalu cerah dan membawa rasa tentram. Wajah yang selalu dibasuh air wudu.
Farid lalu melanjutkan, “Imam yang baik itu Mah, dulunya Muazin yang pernah menuntun Apah kembali ke mushola. Aku ingin sekali ketemu dia, siapa tahu bisa mencerahkan batinku. Setuju Mah?”
“Bagus itu Pah, sekalian mengaji menimba ilmu,” kata istri Farid setuju dengan rencana suaminya.
***
Farid lantas menerawang ke zjaman dulu ketika ketemu Pak Muazin – zaman saat dia masih muda, masih bujangan dan masih bebas kesana-kemari. Hidup yang tidak pernah berpikir panjang.
Pria keren ini dibesarkan di lingkungan yang tidak terlalu religius. Banyak warga yang ketika hati resah dan pikiran gundah larinya ke minuman keras atau ke tempat hiburan. Uang dihabiskan untuk menghindari masalah. Alih-alih hilang atau berkurang, malah semakin bertambah.
Begitu juga Farid dulu saat galau setelah panah asmaranya menembus angin. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Patah hati, sakit hati, malu, kecewa, dan marah menjadi satu. Benar-benar tidak tahu harus lari ke mana. Rasanya ingin mati saja.
Untung ada teman dekat yang datang menghibur. Sayangnya, teman ini menghibur dalam kegelapan. Akibatnya Farid sering mabuk dan pulang dini hari berjalan sempoyongan. Hampir setiap fajar menyingsing, dia baru pulang sempoyongan.
Untung saja sempoyongannya tidak sampai keterusan menjadi gila. Farid diselamatkan muazin musala. Dia ditolong ketika pulang sempoyongan menjelang azan Subuh.
Setengah mata melek, Farid dituntun muazin menuju ke musala. Lalu disuruhnya Farid berwudu. Ketika sekali wudu masih sempoyongan, disuruhnya ambil wudu lagi. Begitu berulang sampai air wudu benar-benar membuatnya merasa segar.
Ajakan lembut sang muazin saat itu meluluhkan hati Farid. Air wudu telah membersihkan pikiran buteknya. Itulah saat dia menemukan tempat yang tepat untuk bersandar dan menumpahkan segala beban luka asmara.
Setelah itu Farid tidak pernah melewatkan panggilan azan. Dia rajin berjamaah ke musala. Panas dan hujan dia terjang. Namun, ternyata itu hanya sementara belaka.
Setelah luka asmara sirna, Farid kembali sibuk dengan dunianya. Dia dengan cepat terlena dan lupa pada musala. Tempat ibadah yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya tak pernah dia datangi lagi, apalagi kemudian dia menyunting gadis anak orang kaya yang lumayan cantik.
Farid seperti manusia ketiban pulung, manusia yang selalu beruntung. Istri cantik, duit banyak, dan pekerjaan lancar.
Beberapa tahun Farid menjalani hidup sejahtera. Meski belum dikaruniai anak, tapi tampak bahagia. Uang banyak, makan enak, pakaian bagus, dan belanja mudah. Sehari-hari keluarga Farid tampak senang, riang, dan gembira-ria, tetapi tidak ada yang abadi. Dibalik kegirangan hidup, ternyata istrinya memendam kesedihan. Sedih, sebagai wanita merasa tidak sempurna karena tidak mampu memberi buah hati.
Sampai-sampai istri Farid ngomong ke Farid, “Pah, kalau Apah mau cari istri lagi, silakan. Supaya bisa punya keturunan Pah.”
Namun, pria berkumis tipis ini menolak, “Amah tidak usah mikir macam-macam, nanti merusak badan lalu sakit. Aku benar-benar tidak apa-apa. Mungkin memang kita belum dikasih momongan.”
Kata-kata adalah doa. Tidak lama setelah itu istri Farid jatuh sakit dan terbaring lemas. Ketika dibawa ke Rumah Sakit, tanpa basa-basi dokter menyuruhnya banyak istirahat, kurangi pikiran berat, dan perbanyak minum vitamin.
Sejak itu, istri Farid lebih banyak berbaring dan kurang bergerak. Lebih banyak tinggal di kamar. Di rumah terus, tidak pernah keluar, dan tidak ke musala.
Sakitnya sang istri membuat Pria lumayan tampan itu lemas tanpa daya. Bagi Farid, istrinya adalah permata hatinya, penyemangat hidupnya yang tidak pernah bosan mengajaknya menempuh jalan kebaikan.
Tidak mungkin aku menduakannya, kata Farid dalam hati. Apapun akan dilakukan Farid demi kesembuhan istrinya. Dengan telaten dan tidak kenal menyerah dia kesana-kemari mengurus dan merawat istrinya tanpa keluh kesah. Hanya ada satu keinginan, istrinya segera sembuh dan ceria kembali.
Farid membatin, Mau ngeluh ke siapa? Tidak ada semua. Ada beberapa kerabat, tapi aku gak merasa dekat.
Semua ditanggung Farid sendiri. Tidak ada katarsis, tidak ada pelepasan emosi, tidak ada healing. Kepalanya sering pusing, hati selalu gelisah, mudah marah, perut sering mules, dan sering sekali ke belakang.
Sampai pada suatu titik, Farid merasa bebannya terlalu berat. Farid yakin ini soal ketenangan batin dan kewarasan berpikir. Tidak mungkin dia lari ke minuman dan tempat hiburan, sudah bukan masanya lagi. Di sisi lain, dia juga tidak ingin jatuh sakit seperti istrinya.
Tiba-tiba Farid ingat musala, ingat pada muadzin yang dulu menuntunnya kala dia selalu pulang pagi sempoyongan. Kini dia mengharap pertolongan yang sama darinya.
Akan kutemui dia, kata Farid pada dirinya sendiri.
Pergilah Farid ke musala. Dilihatnya di sana muazin itu telah menjadi imam. Imam yang juga komandan, pemimpin, dan teladan yang dihormati dan ditaati para jamaahnya.
Sebenarnya ada rasa enggan untuk masuk musala dan menemui Imam. Farid enggan berjamaah dan ketemu jamaah lain, tetapi demi ketenangan batin, apapun akan dia lakukan.
***
Sepulang dari salat di musala, Farid langsung menemui istrinya di kamar dan ngomong, “Aku belum berhasil menemui imam, Mah.”
“Iya Pah, segera saja nanti ya,” jawab istri Farid sambil mengangguk ringan, berharap suaminya nantinya bisa tenang dan tidak mudah marah sehingga ketenangan akan menular pada dirinya.
Farid memang belum berhasil bertemu Imam. Dia belum menemukan saat yang tepat, di samping rasa enggan dan rasa canggungnya belum hilang, Dia juga malu, bimbang, dan ragu, saat ketemu nanti mau ngomong apa.
Kebimbangan yang dia alami itu membuatnya sering terdiam dan duduk menyendiri. Istrinya menjadi khawatir, hingga malam itu sepulang Farid dari salat Isya, istrinya menegur.
“Apa yang Apah pikir? Beberapa hari ini sering sendiri dan tidur larut malam?” Tanya istri Farid.
“Aku tadi sebenarnya bisa ketemu Imam, tapi malah bingung mau ngomong apa Mah. Gak jadi ketemu deh,” jawab Farid.
Dengan lembut istri Farid ngomong, “Masih mikirin orang-orang itu kah?”
“Iya Mah, apa sih kurangku ya? Iuran lingkungan selalu aku bayar, kerja-bakti selalu aku ikuti, berjamaah aku jalani, apa coba Mah?” Kata Farid penuh tanya.
“Tidak ada yang kurang Pah, baik-baik saja. Orang-orang juga tahu Apah orang baik,” kata istri Farid.
“Jangan ngibul ah,” sahut Farid, “Lah, itu jamaah kok memperlakukan aku kayak gitu?”
Istri Farid berusaha sabar, ngomong, “Kok ngibul? Apah itu memang orang baik, hanya gini loh, Apah tuh terbelenggu oleh pikiran Apah sendiri.”
“Waduuh, apa lagi Mah,” kata Farid dengan suara meninggi.
Lalu istri Farid panjang lebar ngomong bahwa tidak semua yang terlihat mata itu begitu juga kenyataannya. Mata banyak menipu. Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai. Dari kejauhan, bintang yang besar terlihat kecil. Lalu juga menambahkan tipuan mata dalam fenomena fatamorgana.
“Maksudku, tidak semua penglihatan kita itu benar, kadang banyak salahnya,” kata istri Farid.
“Amah ini sok tahu!” Kata Farid sambil berdiri dan membanting kursi yang tadi didudukinya, lalu beranjak menuju dapur.
Istri Farid kaget. Tidak seperti biasanya suaminya marah sambil membanting kursi. Dia lalu memaksa diri berjalan pelan keluar kamar dan melanjutkan omongannya. Istrinya berpikir, lebih baik marah diawal, tapi baik diakhir.
“Apah lihat tuh di berita TV, orang dengan pakaian perlente dan berwajah tampan, tetapi ternyata dia jahat, dia maling uang rakyat, koruptor,” kata Istri Farid, “Lihat juga tuh, orang pakaiannya kumuh, wajah pas-pasan tapi akhlak dan moralnya mulia. Mata ini banyak menipu Pah.”
Karena Farid yang lagi di dapur diam saja, istrinya lalu ngomong, “Jangan terjebak prasangka buruk Pah. Dengar kan Pah?”
Tidak ada suara.
Istri Farid melanjutkan, “Apah ke mushola kan untuk dapat ketenangan, eh tiap pulang malah dapat kegelisahan-kegelisahan baru.”.
Tetap tidak ada suara.
Belum lagi ada jawaban, tiba-tiba ada suara pintu rumah diketuk pelan dan terdengar suara lembut mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”
Farid setengah lari dari dapur menyongsong ke pintu, sambil ngomong ke istrinya, “Biar aku bukain Mah, Amah ke kamar lagi saja, istrirahat.”
Istri Farid heran, sambil kembali ke kamar dia nggrundel, “Tadi aku ngomong dia kayak enggak dengar. Ini ada suara salam pelan malah dengar dan mau bukakan pintu, ah terserahlah.”
Farid membuka pintu dan kaget bukan main, berderet berdiri di depannya imam musala dan rombongan jamaah musala. Sambil mempersilahkan masuk, Farid menjabat erat tangan satu persatu penuh senyum dan sapaan ramah.
Imam menyampaikan, mereka bermaksud bersilaturahmi ke pak Farid sambil menjenguk istrinya yang lama tidak berjamaah karena sakit. Berbagai bingkisan disampaikan.
Pertemuan dilanjut minum teh, kopi, dan hidangan ringan. Rumah Farid malam itu penuh dengan senyum ramah dan obrolan hangat. Hilang semua purbasangka dan bayangan buruk yang selama ini ada di dalam benak Farid.
Purwokerto, 30 Januari 2024.
Sarkoro Doso Budiatmoko.
***
Judul: Farid Terperangkap Purbasangka
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***