Cerpen “Orang Dalam”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Orang Dalam” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Hari-hari ini Palupi sedang berusaha amat keras menyembunyikan perasaan galaunya dari pandangan mata hati Ibu. Rasa galaunya itu campur aduk persis “seblak”, ada manis, kecut, segar, dingin menjadi satu. Juga ada sedih, sebel, seneng, haru dan sekaligus syukur.
Kegalauannya mencuat setelah teman dekatnya, Rudy, tanpa basa-basi, mengajaknya menikah. Ajakannya jelas, lugas dan terang benderang. Sepertinya dia juga mengharapkan jawaban yang jelas, iya atau tidak. Ini yang Palupi suka dari Rudy. Tidak perlu ada tambahan tafsiran.
Menikah, sebuah kata yang selama ini tidak terlalu dia pikirkan. Oleh karena itu, ajakan Rudy membuatnya terhenyak, tiba-tiba dihadapkan pada hal yang tidak biasa. Sesuatu yang dikiranya masih jauh kini ada di depan mata.
Waktu dan pikirannya selama ini, selain bekerja, banyak tercurah untuk aktivitas bermasyarakat. Bagi Palupi, bermasyarakat itu mengasyikan, langsung merasakan denyut nadi sesama warga kala suka, duka, riang, gembira, dan banyak ungkapan rasa lainnya.
Jiwa sosial Palupi memang sering meletup-letup melihat kondisi masyarakat sekitar yang kurang beruntung. Kalau dia mampu, dia bantu. Kalau tidak mampu, dia carikan jalan keluarnya.
Dari aktifitasnya ini, dia sama sekali bukan ingin menjadi terkenal. Dia hanya ingin ikut menyumbangkan kemampuannya. Dia tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang egois yang membabi-buta memuaskan kebutuhannya sendiri dan menafikan kebutuhan yang lain.
Palupi tidak ingin menjadi bagian dari orang berperilaku buruk dari tragedi yang digambarkan Garret James Harding, ilmuwan Amerika, pada tahun 1968, dalam bukunya “Tragedy of the Common”.
Untung ada Rudy yang sering membantunya. Dia banyak mendukung dengan dalil pegangannya, khoirunnas anfauhum linnas, insan terbaik adalah insan yang bermanfaat bagi yang lain. Kesamaan pandangan itu membuat mereka berdua dari waktu ke waktu menjadi semakin dekat.
“Terimakasih Rud, sudah mensuportku….” Palupi tidak pernah lupa berterima kasih atas dukungan Rudy.
“Ya sama-sama…, kalau perlu aku, kabari saja ya,” kata Rudy.
Meski berteman dekat, tetapi Palupi tidak menyangka secepat ini Rudy mengajak menikah. Ajakan ini belum Palupi jawab. Dia mau minta pertimbangan Ibu. Hanya saja dia juga belum mau menambahi beban pikiran ibu.
Wanita lajang ini bingung. Di satu sisi belum ingin ibunya tahu apa yang sedang dirasakannya, di sisi lain, bersembunyi dari ibu juga tidak mudah. Di dunia ini tidak ada orang lain yang benar-benar mengenalinya selain ibu.
Wanita yang melahirkannya itu sangat memahami isi hatinya. Bahkan, sekadar alis matanya ketekuk sedikit saja sudah mengundang pertanyaannya. Seperti terjadi pada suatu sore ketika dengan lembut ibunya bertanya, “Lagi mikirin apa kamu Upi?”
Palupi menanggapi dengan setengah kaget, “Emang kenapa Bu?”
“Itu dua alismu ketekuk,” sahut Ibunya.
Dengan agak enggan Palupi bercerita masalah yang ada di dalam benaknya saat itu. Kadang Ibu terlalu cawe-cawe hingga rasanya dia hampir kehilangan privacy. Dia maklum, mungkin itulah bentuk perhatian seorang ibu kepada anaknya.
Pernah terjadi pada suatu siang saat dia sudah rapi dan siap berangkat ke resepsi pernikahan seorang kawan. Mendadak ibu menyarankan untuk berganti pakaian. Saran itu sebenarnya sudah sangat terlambat tetapi walau dengan muka kecut, diturutilah saran ibunya.
Ibu dengan mudah membaca kekecutan air mukanya, lalu berucap, “Upi, sudah saatnya kamu mulai berpakaian agak feminin, temanmu kan yang menikah? Dia akan suka kalau kamu memakai gaun, coba deh.”
“Tapi Bu….” Palupi menyela.
“Udahlah Upi, kamu tuh memang cantik memakai pakaian apapun. Tetapi kali ini buatlah teman akrabmu itu merasa kamu mengistimewakannya.”
“Siaap Bu,” sambil bergegas kembali ke kamar untuk berganti pakaian.
Palupi, wanita lajang yang cantik itu, menduga ibunya pasti sudah sekian lama mengamati pembawaannya yang memang tidak terlalu peduli dengan cara berpakaian. Dia selalu mengenakan baju sekenanya saja. Rupanya ibunya merasa kinilah saat tepat memberi nasehat bagaimana sebaiknya seorang wanita berpakaian di sebuah pesta pernikahan.
Hanya perlu beberapa menit Palupi sudah kembali ke hadapan Ibunya, “Kalau begini bagaimana Bu?”
“Masya Allah, cantiknya anak ibu …” Ujar Ibunya Palupi.
Nyatanya memang pakaian ganti yang dia pakai atas saran ibunya telah menambah rasa sumringah dan rasa percaya dirinya. Palupi merasa lebih mantap melangkah ke pesta resepsi pernikahan. Sungguh tajam pandangan mata hati ibunya.
Dari situlah, dalam soal apapun, Palupi tidak yakin akan bisa bersembunyi dari ibunya. Termasuk menyembunyikan ajakan Rudy, apalagi ajakan ini telah menyita separuh isi benaknya. Itu pasti juga akan tampak jelas pada tarikan urat-urat syaraf wajahnya.
Bagi ibu tidak hanya mudah membaca raut wajah, aroma pewangi badan Palupi juga tidak luput dari perhatian. Seperti pada suatu pagi saat akan berangkat kerja, ibu menghadangnya di teras.
“Upi, kayaknya parfummu hari ini terlalu tajam dipakai untuk ke kantor. Nanti teman-teman lelaki di kantormu pada mendekat semua,” kata Ibunya Palupi.
“Masak sih Bu?” Jawab Palupi setengah tak percaya.
Benar juga. Ibu memang hebat, panca indraku belum setajam dia. Hidungku hanya sensitif kalau mencium aroma makanan enak, batin Palupi berkata.
Palupi menjadi semakin mengagumi ibunya karena ternyata pengharum tubuh tidak beda jauh dengan feromon, nama hormon yang dikeluarkan makhluk tertentu untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Begitulah ibu. Pergaulannya yang luas dan pengalamannya yang matang membekalinya pengetahuan tentang banyak hal yang dengan telaten sedikit demi sedikit ditularkan kepada Palupi.
Hanya satu hal ibu sangat berhati-hati yaitu tentang perjodohan. Semacam ada keraguan hati untuk bicara tentang jodoh dengan Palupi.
***
Palupi, anak tunggal, sejak kecil menjadi satu-satunya teman hidup ibu, tanpa ayah di sisinya. Sayangnya ibu belum pernah sepatah katapun cerita tentang ayah.
Dulu Palupi pernah bertanya, tetapi itu membuat ibunya tampak sedih. Juga pernah bertanya ke beberapa kerabat, tetapi jawabnya tidak pernah jelas dan malah cenderung menyalahkan ibu. Sejak itu Palupi tidak pernah bertanya lagi.
Di kepalanya hanya ada pikiran, lelaki yang menjadi ayahnya itu pasti telah menorehkan luka yang teramat dalam. Oleh karena itu dia tidak mau menambahi luka hati ibunya. Hidupnya sudah berat, dari hidup sehari-hari berdua saja Palupi tahu persis betapa tidak mudahnya membesarkannya seorang diri. Hebatnya, ibu tidak pernah terdengar mengeluh.
Palupi setengah berharap pada suatu hari nanti ibu, tanpa diminta, bercerita sendiri tentang sosok lelaki yang pernah menjadi suaminya. Cerita yang akan memberinya banyak hikmah dan pelajaran dalam menapaki hidup.
Harapan Palupi itu terwujud saat suatu malam, tumben, ibu masuk ke kamarnya dan mengajaknya ngobrol. Tumben juga, dengan sangat berhati-hati ibu ngobrol tentang rumah tangga.
“Upi, ibumu ini sama sekali bukan wanita sempurna. Ibu tidak ingin ketidaksempurnaanku menurun kepadamu nak,” ujar Ibunya Palupi membuka percakapan.
“Iya Bu, Upi juga bukan anak yang sempurna, tapi aku sangat bersyukur sudah bersama Ibu sampai detik ini dan aku menjadi seperti ini, makasih ya Bu,” jawab Palupi yang lantas memeluk dan mencium sayang ibunya.
Lalu menghangatlah obrolan ngalor-ngidul antara ibu dan anak. Kehangatan yang jarang mereka dapatkan karena kesibukan Palupi acapkali menyita waktu. Kemudian sampailah obrolan pada topik “sensitif” tentang kehidupan rumah tangga.
Ibu bercerita, dulu Ayah dan Ibu lama menunggu kelahiran bayi Palupi. Dalam menunggu itu Ayah menjadi sering uring-uringan dan menyalahkan Ibu. Pelariannya, dia menyibukan diri dengan kerja-kerja dan kerja.
Hasil pelariannya itu justru membuat kondisi keuangan semakin baik. Keluarga kecil itu tanpa susah-susah semakin mampu dengan enteng memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga.
Karir ayah terus naik dan penghasilannya pun terus bertambah. Hanya rasa syukurnya saja yang terus berkurang, bahkan membuatnya semakin lupa diri.
Lalu ibu berkata dengan penuh tenaga, “Tahukah kamu apa penyakit lelaki Upi? Hati-hati, penyakitnya adalah kalau duitnya banyak dia akan main-main dengan wanita lain.”
“Oh, itu rupanya yang sering disebut orang sebagai godaan harta, tahta, dan wanita ya Bu?” Palupi menanggapi.
“Iya, itu Upi. Pintar kamu,” puji Ibunya Palupi.
Begitulah kenyataannya, setelah memegang banyak uang, ayah mulai tergoda. Godaan semakin menjadi-jadi meskipun bayi Palupi sudah nongol di dunia. Dia tidak peduli, malah semakin dalam masuk ke kubangan perilaku tidak pantas. Tentu saja ibu tidak suka.
Awalnya ibu selalu mengalah dan menuruti semua kemauannya. Harapannya ayah segera sadar dan membaik. Namun, harapannya itu seperti jauh panggang dari api. Perilaku tidak pantas malah terus berlanjut. Ibu dianggap tidak ada. Ibu tidak tahan lagi, tetapi tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Ibu terdiam sejenak dan kamar menjadi hening. Ibu mengusap matanya yang basah dan dengan terbata-bata melanjutkan ceritanya.
“Suatu malam ibu menunggu Ayahmu pulang. Menunggu hingga larut. Karena tidak kuat menahan rasa kantuk dan lelah, ibu ketiduran pulas di sofa panjang di ruang tamu,” kata Ibunya Palupi.
Ibu melanjutkan ceritanya bahwa setelah bangun tidur, dia ubek-ubek seisi rumah sampai ke gudang dapur, tapi tidak tampak juga batang hidung ayah. Pintu rumah ternyata juga masih tetap terkuci. Ayah ternyata belum pulang.
Sejak saat itulah ayah tidak pernah nongol lagi hingga sekarang. Tidak ada kabar yang dikirim. Tidak ada apapun dari ayah.
Kamar kembali hening, sepi, senyap. Dua orang itu kemudian tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Palupi tidak habis pikir, betapa tega hati dan tidak bertanggungjawabnya lelaki ini.
Beberapa saat setelah sepi, ibu berkata, “Ibu merasa gagal membangun rumah tangga. Tetapi Ibu tidak mau gagal juga dalam membesarkanmu, Upi. Cukup ibu saja yang mengalami ini. Semoga jodohmu nanti benar-benar seorang lelaki ….”
Kemudian Ibu memberi gambaran seperti apa lelaki yang sebaiknya mendampingi hidupnya nanti. Lelaki itu wajib taat beribadah meski tidak gagah. Dia mesti hormat pada orang tua dan wanita walau tidak banyak harta.
Lalu, lelaki itu juga harus berhati lapang, melindungi, tidak mudah emosi, tidak mementingkan diri sendiri dan tidak suka basa-basi. Deretan syaratnya masih panjang lagi.
Palupi agak heran, sedetail itu yang ibu sampaikan, seolah ibu tahu ada seseorang yang sedang mendekatinya. Lebih heran lagi, kriteria yang panjang lebar itu ada semua di seorang Rudy, apalagi lelaki itu juga sangat hormat pada ibu.
Palupi berprasangka dalam hati, “Jangan-jangan Rudy, tapi .. aah biarlah.”
Ibu rupanya membaca suara hati anaknya, “Upi, semua ibu sampaikan karena ibu hanya ingin kamu hidup bahagia lahir batin.”
Tidak di situ saja, menurut ibu, “Nikah itu setengahnya seperti judi, kalau beruntung dapat jodoh yang benar-benar baik dan hidup bahagia setelahnya. Atau sebaliknya, kedua-duanya sepenuhnya hanya Allah yang tahu.”
Ibu menyambung dengan nasehat untuk Palupi bahwa orang tidak boleh ragu melangkah karena nasib orang berbeda-beda. Semua wajib menyongsong masa depan tanpa rasa bimbang.
“Kita, manusia hanya disuruh berikhtiar, lalu berdoa.Doaku, semoga jodohmu segera datang. Aamiin…,” lanjut Ibu.
“Terima kasih banget Bu. Doa ibu kayaknya segera terkabul,” kata Palupi yang tidak kuat lagi menyimpan pikirannya.
“Haaaahhh, alhamdulillah,” ucap ibu penuh rasa syukur.
“Aku akan segera menjadi seorang ibu,” lanjut Palupi.
“Haaaah yang benar Upi, kamu kenapa?” Kata ibu penuh tanya.
“Eehhh, maksudku sudah ada yang mengajak aku ke KUA,” koreksi Palupi.
“MasyaAllah, Alhamdulillah, siapa itu Upi, siapa?” Kata Ibu penuh rasa ingin tahu.
“Rudy, Bu…”
“Ooohh, alhamdulillah, ” ucap ibu sambil menghembuskan nafas lega penuh rasa sukur, seolah itulah nama yang dia tunggu-tunggu keluar dari mulut anaknya.
Palupi juga menangkap pertanda kuat bahwa ibu sudah tahu ajakan Rudy. Dia tidak perlu lagi bersusah payah meminta persetujuan ibu. bersyukur juga karena pilihannya tidak mengecewakan Ibu.
Akan segera aku temui Rudy, ajakannya aku terima, kata Palupi dalam hati.
Tiga tahun kenal dan berkawan rupanya tiga tahun pula Palupi dan Rudy saling mengamati. Berkawan tanpa nyinyir dan tanpa mencoba mengambil manfaat, kesempatan, dan keuntungan negatif dari perkawanan sepanjang itu.
Tiga tahun telah mengantar mereka saling cocok, disamping juga telah membuat bu menjadi ordal. Orang dalamnya Rudy.
Baturraden, 25 Desember 2023.
Sarkoro Doso Budiatmoko
***
Judul: Orang Dalam
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Pengalamannya menjalani berbagai penugasan selama bekerja di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan dalam tulisan. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Atas dorongan Jumari Haryadi, Pemimpin Redaksi Pratama Media News, penulis pada 2023 mulai menulis cerita pendek (cerpen). Belasan cerpen sudah ditulis, antara lain berjudul: “Samsuri, Muazin yang Menghilang” lalu “Fadhil, Dunia ini Tak Seindah Rembulan” dan “Bram Terbelenggu Rasa”.
Sebagian dari tulisan-tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Tulisan-tulisan lainnya juga sedang disiapkan untuk dibukukan, termasuk kumpulan cerita pendeknya.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto. Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event, termasuk dari RRI Pro-satu Purwokerto 14 Juli 2023 lalu.
***