Berita Jabar NewsCerpenLiterasiSastra

Cerpen “Kupersembahkan Kenikmatan Terakhir untuk Bapak”

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Cerpen berjudul “Kupersembahkan Kenikmatan Terakhir untuk Bapak” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”.

Angkasa tak lagi berwarna kuning kemerahan. Sang surya telah raib di peraduannya. Segerombolan awan menjelma hitam pekat. Sunyi merajai bumi. Semilir angin seperti tak terbebani oleh suara-suara binatang malam yang tidak mengenal batas hidup dan kematian. Mereka hanya mengerti bahwa cuaca sedang buruk.

Aku terlahir dari keluarga ini tidak sendiri. Ada Bang Danang, kakakku. Meski pun terlahir sebagai laki-laki, bagiku ia terlalu pengecut. Ia pergi dari rumah dan tidak kembali hingga detik ini, setelah perkelahiannya dengan bapak. Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini aku hanya tinggal berdua dengan bapak.

Setelah merasakan dinginnya angin malam di teras kecil rumah, aku memilih untuk masuk. Lalu kutengok benda pipih di bawah bantal sebelum aku mencoba memejamkan mata.

Ilustrasi: gadis putus asa
Ilustrasi: Aku menanti saat yang tepat buat mempersembahkan kenikmatan terakhir untuk bapakku – (Sumber: vecteezy.com)

“Kinasih! Kinasih!” Seru bapak dari balik pintu.

Dadaku berdebar kencang mendengar suara itu. Buru-buru kututup telingaku untuk mencoba tidak peduli,  hingga kulihat bapak memasuki kamar.

Akan kutuntaskan malam ini! seru batinku dengan geram penuh dendam.

Aku beringsut dari tempat tidur. Kuraih selembar kain untuk menutupi tubuhku yang molek. Lalu kupandang tubuh lunglai yang tergeletak di atas dipan, tanpa alas kasur.

Dadaku sesak, mataku berkabut. Dengan kasar aku mengusap air mata dan keringat yang membasahi wajah. Bisa kupastikan jika wajahku saat ini penuh dengan darah. Ya, darah bapak!

Beberapa menit yang lalu, bapak masih menikmati tubuhku. Ini bukan yang pertama kali bapak melakukan perbuatan bejadnya. Semenjak ibu memutuskan untuk pergi menjadi TKI empat tahun lalu, bapak kerap kali menggagahiku dan aku tidak kuasa menolaknya. Tenaga bapak terlalu kuat untuk kulawan, belum lagi pengaruh minuman keras yang membuatnya seperti orang kesetanan.

Pada malam itu, usiaku genap 16 tahun. Bapak masuk kedalam kamarku saat aku terlelap. Memang kamar tidurku tidak memiliki pintu, hanya dibatasi dengan gorden tipis yang mulai lapuk. Bukan hadiah maupun ucapan selamat yang kudapat malam itu, tapi justru perbuatan biadab bapak tiriku yang tak akan terlupakan sepanjang hidupku.

Malam ini, tepat 40 hari sejak kabar yang kuterima bahwa ibu meninggal di negeri orang karena terpapar virus mematikan, Covid-19. Pada saat hati ini masih diliputi duka, bapak kembali mengulangi perbuatannya.

Aku terpaksa melayaninya, memainkan peran serupa perempuan sundal tak beradab. Desahan yang keluar dari mulutnya yang berbau ciu membuatku mual dan ingin muntah. Seketika aku mengubah posisi berada di atas tubuh bapak.

“Bagus, Nak! Kamu sudah mulai pintar,” ucap lelaki bajingan itu seraya menyeringai.

Cuih! aku muak mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa menit, tubuh bapak menegang. Kepuasan tergambar dari senyumnya yang menjijikan. Detik itu pula kuraih pisau dapur yang sudah aku persiapkan sejak jauh hari di balik bantal tidurku.

Dengan penuh dendam kutancapkan pisau ke dada bapak.

“Kinasih!” Seru bapak sambil menahan nyeri.

Sebelum bapak melakukan pergerakan, segera kucabut pisau itu dan kembali kutancapkan pada lehernya, perut, dan terakhir bagian ulu hati. Bapak pun meregang dengan mata yang terbelalak.

Spontan kulempar pisau yang penuh darah dengan tubuh gemetar, setelah kupersembahkan kenikmatan terakhir dalam hidup bapak.

mati bersimbah darah
Ilustrasi: Akhirnya bapak mati bersimbah darah setelah pisau yang kusiapkan berhasil menghabisi hidupnya – (Sumber: Shutterstock.com)

Sekarang aku bebas. Ya, aku benar-benar telah terbebas dari siksaan lahir dan batin yang selama ini selalu kurasakan. Biasanya aku kerap menerima tamparan, tendangan, dan bantingan dari seorang bapak tiri yang tidak memiliki hati nurani.

“Jangan melawan, Nak. Walau bagaimana pun, ia bapakmu yang sudah memebesarkanmu,” terngiang ucapan mendiang ibu, tatkala bapak merampas kalung pemberian ibuku, hasil dari kerja kerasnya bekerja sebagai buruh cuci.

Hal itu selalu terjadi jika bapak kalah bermain judi. Tentu saja aku tidak pernah bisa melawan karena larangan ibu. Juga karena tubuhku yang kecil dibandingkan tubuh bapak yang jauh lebih besar dan kuat.

Apa yang dapat aku banggakan dari seorang bapak tiri yang seharusnya menjadi pelindung dalam hidupku? Sama sekali tidak ada! Dia malah menciptakan neraka dalam duniaku.

Arrrghh!

Aku memekik sekuat tenaga, melepas rasa sesak dalam dada. Bahkan, tanpa sadar kugigit bibirku ini hingga berdarah, lalu kujatuhkan tubuhku di atas lantai plesteran semen yang dingin.

Bayangan wajah ibu membias dalam benakku bak tampilan layar proyektor pada dinding kamar bercat putih yang mulai usang.

Maafkan aku, Bu. Jika aku membalaskan dendamku kepada Bapak dengan cara seperti ini, gumamku dalam hati.

Hatiku sangat sakit. Ya, sakit sekali atas perlakuan bapak kepadaku. Juga pada mendiang ibuku. Entah apa yang membuat ibu masih tetap menghormatinya sebagai kepala rumah tangga.

“Kenapa harus aku yang mengalami semua ini ya Tuhan! Kenapa harus aku!” Pekikku keras.

Aku bangkit dan kembali berdiri di sisi bapak yang masih berlumuran darah. Sekali lagi kuhapus air mata dengan kasar. Kebencianku masih membuncah meski bapak sudah menjadi jasad tak bernyawa.

Tidak ada gunanya menangis, bukankah hal ini sudah terjadi? Bapak pantas mendapatkan hukuman ini, gumamku.

Aku mengambil pisau yang tadi sempat kulempar, benda runcing yang berkilau masih berlumuran darah. Berhari-hari benda ini menjagaku, menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Kini semuanya telah usai.

Kutatap benda runcing yang masih erat dalam genggamanku. Apakah harus aku mati di ujung pisau yang sama seperti, bapak?

Entah apa yang akan terjadi pada hidupku nanti? Jika pun aku hidup, pilihanku hanya dua. Mati dalam penjara atau mati dihakimi massa. (Violet Senja).

***

Judul: Cerpen Kupersembahkan Kenikmatan Terakhir untuk Bapak”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: JHK

Sekilas tentang pengarang

Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platfoam. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang sikotropika ini juga merupakan seorang ibu ruah tangga,  ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *