Jejak Kata di Pulau Buru: Pertemuan Pramoedya dan Jenderal Soemitro
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI – Minggu (28/12/2025). Artikel berjudul “Jejak Kata di Pulau Buru : Pertemuan Pramoedya dan Jendral Soemitro” ini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Ada sebuah kisah yang jarang diangkat ke permukaan, namun menyimpan makna besar tentang hubungan antara kekuasaan, sastra, dan tekanan internasional. Kisah ini berawal dari perjalanan Jenderal Soemitro ke Eropa setelah Konferensi Nonblok tahun 1973. Di sana, ia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: orang-orang asing menanyakan nasib tahanan politik Indonesia, khususnya seorang pengarang bernama Pramoedya Ananta Toer. Baru di titik itu Soemitro menyadari bahwa Pram bukan sekadar tahanan politik, melainkan seorang pengarang dengan reputasi dunia.
Kesadaran ini menjadi titik balik. Soemitro, yang sebelumnya melihat Pram hanya sebagai bagian dari kelompok yang dianggap berbahaya, mulai memahami bahwa keberadaan Pram memiliki dimensi internasional. Dunia mengenal Pram sebagai suara penting dari Indonesia, dan mengekang suaranya berarti menanggung tekanan diplomatik yang tak ringan. Maka, ketika Soemitro berkesempatan mengunjungi Pulau Buru, ia membawa serta wartawan dan psikolog, seolah ingin menunjukkan bahwa ada keterbukaan dalam perlakuan terhadap para tahanan.
Di Pulau Buru, pertemuan antara Soemitro dan Pram berlangsung dalam suasana yang penuh ketegangan sekaligus kehangatan. Soemitro menanyakan alasan Pram bergabung dengan Lekra, organisasi yang dianggap dekat dengan ideologi komunis. Pram menjawab dengan jujur, menegaskan bahwa keterlibatannya adalah bagian dari keyakinan akan peran sastra dalam kehidupan sosial. Percakapan itu membuka ruang baru: Soemitro mulai melihat Pram bukan hanya sebagai tahanan, tetapi sebagai seorang intelektual yang layak diberi kesempatan untuk kembali menulis.

Dari sinilah jalan terbuka. Soemitro menawarkan bantuan, dan Pram dengan sederhana meminta mesin tik, kertas, kamus, serta buku bahasa Prancis. Permintaan itu bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan simbol bahwa ia ingin kembali menyalakan api intelektualnya. Dukungan juga datang dari Mochtar Lubis, seorang tokoh pers yang dikenal kritis. Lubis memberikan obat, rokok, pasta gigi, dan diduga menyarankan agar Pram diberi mesin tik. Bantuan kecil ini, di tengah keterasingan Pulau Buru, menjadi jembatan yang memungkinkan Pram kembali berkarya.
Pram kemudian dibebaskan dari kerja sawah dan ladang. Ia mulai menulis kembali, mengetik naskah dalam beberapa salinan agar tidak mudah hilang. Sebagian naskah berhasil diselundupkan keluar, menjadi saksi bahwa di tengah keterbatasan, kata-kata tetap menemukan jalannya. Dari Pulau Buru lahirlah karya-karya yang kelak dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru, sebuah rangkaian novel yang merekam sejarah, penderitaan, dan harapan bangsa.
Namun, kebebasan yang datang pada tahun 1979 tidak sepenuhnya membawa kelegaan. Ketika Pram akhirnya dibebaskan, pemerintah merampas naskah-naskah yang telah ia tulis dengan susah payah. Ia hanya pulang dengan pakaian dan surat keluarga. Kehilangan itu bukan sekadar kehilangan fisik, melainkan luka yang mendalam bagi seorang pengarang yang menjadikan kata-kata sebagai napas hidupnya.
Meski demikian, kisah ini menunjukkan betapa kuatnya daya tahan seorang penulis. Pram tidak pernah berhenti menulis, bahkan ketika dunia seolah menutup pintu baginya. Tekanan internasional, pertemuan dengan Soemitro, dan dukungan dari tokoh-tokoh seperti Mochtar Lubis menjadi bagian dari mosaik yang memungkinkan Pram kembali bersuara. Suara itu, meski sempat dirampas, tetap bergema hingga kini, mengingatkan kita bahwa sastra adalah senjata yang tak bisa dibungkam sepenuhnya.

Pertemuan di Pulau Buru bukan hanya peristiwa pribadi antara seorang jenderal dan seorang pengarang. Ia adalah simbol pertemuan antara kekuasaan dan kebebasan berpikir, antara politik dan sastra, antara pengekangan dan daya tahan. Dari sana kita belajar bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk menembus tembok penjara, melampaui batas negara, dan menyentuh hati manusia di seluruh dunia.
Pram mungkin kehilangan naskah-naskahnya, tetapi ia tidak pernah kehilangan semangatnya. Ia tetap menulis, tetap mengisahkan, tetap mengingatkan. Dan dari Pulau Buru, lahirlah sebuah pelajaran besar: bahwa kebebasan berpikir adalah hak yang tak bisa dirampas, dan bahwa seorang pengarang, dengan segala keterbatasannya, mampu menyalakan api yang menerangi sejarah bangsanya.
***
Judul: Jejak Kata di Pulau Buru : Pertemuan Pramoedya dan Jendral Soemitro
Penulis: Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi.
Editor: Febri Satria Yazid
Penulis: Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi.
Editor: Febri Satria Yazid
