Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Kehilangan dan Perantauan”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom SASTRA, Selasa (18/11/2025) – Cerpen berjudul “Kehilangan dan Perantauan” ini merupakan karya original dari Febri Satria Yazid  yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial. Penulis yang berasal dari Sumatra Barat ini merupakan anggota Komunitas Penulis Cimahi (Kompeni) dan Ketua Forum TBM Kota Cimahi Periode 2025-2030.

Selepas kepergian sang istri untuk selama-lamanya, aku melihat Sendi seperti kapal yang kehilangan jangkar. Ia masih berusaha tegak, masih menjalani rutinitas sebagai seorang ayah. Namun, aku tahu di dalam dirinya ada kehampaan yang sulit terisi. Rumah yang dulu penuh dengan suara batuk pelan, derit kasur tua, dan doa-doa lirih dari mulut istrinya, kini menjadi sunyi. Sunyi yang tidak hanya terasa di telinga, tetapi juga menusuk hingga ke relung hatinya.

Aku masih ingat, bagaimana mata Sendi berkaca-kaca saat menceritakan detik-detik terakhir kebersamaannya dengan sang istri, Anis. Ia berkata, “Masih terngiang di telingaku ucapan terima kasihnya, ‘Terima kasih Abang, sudah menjadi suami Anis. Kalau tidak ada abang yang menemani Anis saat sakit begini, entah bagaimana nasib Anis,’ katanya waktu itu.” Kalimat itu sederhana, tapi bagai ukiran dalam hati Sendi.

Febri Satria Yazid, penulis - (Sumber: Arie/BJN)
Febri Satria Yazid, penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Sendi pun kerap mengulang kenangan saat perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah di kota kelahirannya  menuju Rumah Sakit Umum di ibu kota provinsi. Dalam deru ambulans, dengan tangisan tertahan dan tangan yang saling menggenggam erat, mereka berdua seperti sedang berpamitan pada dunia. Perjalanan itu bukan sekadar lintasan jalan, melainkan lintasan takdir: dari kebersamaan menuju perpisahan yang tak pernah diinginkan.

Sesampainya di rumah sakit propinsi, tubuh Anis yang lemah terbaring di ruang perawatan intensif. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya masih berusaha menyapa setiap kali Sendi menatapnya ─ seolah ia tak ingin meninggalkan kenangan tentang penderitaan, tetapi tentang ketulusan cinta yang tak lekang.

Hari-hari di rumah sakit itu berjalan lambat, seolah waktu sendiri enggan melangkah. Sendi duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya yang mulai dingin. Ia tak banyak bicara, hanya menatap, mengusap kening, dan kadang berbisik lirih doa yang tertahan di dada. Sementara di sudut ruangan, anak bungsu mereka yang sedang libur kuliah sengaja pulang dari rantau ─ seorang gadis yang baru menginjak remaja, berusaha tegar menahan tangis. Ia tahu, ibunya sedang berjuang di batas antara dunia dan keabadian.

“Abang, kalau nanti Anis enggak ada, jaga anak-anak baik-baik ya,” ucap Anis lirih di suatu malam yang sunyi.

Sendi menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh, “Jangan bicara begitu, Nis. Abang di sini, Anis pasti sembuh.”

Anis hanya tersenyum, senyum yang lebih dalam dari kata-kata, seolah ia sudah berdamai dengan kenyataan yang akan datang.

Tiga hari kemudian, menjelang hari berganti, udara di ruang perawatan terasa begitu dingin. Perawat baru saja memeriksa alat bantu napas, dan Sendi duduk di kursinya, menggenggam tangan Anis yang semakin lemah. Napasnya tersengal, tetapi matanya memandang penuh ketenangan. Dalam detik yang perlahan membeku, Anis berbisik, “Terima kasih, Bang.”

Hanya itu. Lalu senyum Anis berhenti di antara tarikan napas terakhirnya. Tangisan pecah di ruangan itu. Anak bungsunya memeluk tubuh ibunya yang telah dingin, sementara Sendi hanya bisa memandang, matanya kosong, hatinya remuk.

Sendi tahu, cinta sejatinya telah pergi, tetapi di dalam kepergian itu, ia menemukan makna yang lebih dalam: bahwa cinta yang tulus tidak berakhir di liang kubur, melainkan terus hidup dalam kenangan dan doa.

Sejak hari itu, setiap kali angin sore berhembus, Sendi kerap merasa seolah Anis masih di sampingnya, tersenyum lembut, seperti dulu saat mereka menatap matahari terbenam dari beranda rumah. Hanya kali ini, senja itu tak lagi sama. Namun bagi Sendi, selama hatinya masih mengenang, Anis tak pernah benar-benar pergi.

Pindah ke Bandung

Beberapa bulan setelah kepergian istrinya, Sendi membuat keputusan besar meninggalkan kota kelahirannya, pindah ke Bandung. Ia ingin mengikuti anak-anaknya yang bungsu sedang menuntut ilmu dan si sulung sudah bekerja.

“Aku tak ingin mereka merasa sendiri di kota ini” ujar Sendi padaku suatu sore.

Aku mengangguk, meski dalam hatiku aku tahu ada alasan lain yang lebih dalam, ia tak lagi sanggup tinggal di rumah yang setiap sudutnya menyimpan kenangan bersama almarhumah.

Perantauan selalu punya wajah ganda. Di satu sisi, Sendi menjanjikan harapan baru, di sisi lain, ia menghadirkan kesepian yang lebih pekat. Bandung dengan hiruk pikuk jalanannya, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan wajah-wajah asing, memberi Sendi dunia baru yang sama sekali berbeda dari kota kecil kami. Ia yang dulu terbiasa disapa tetangga ketika lewat, kini hanya menjadi bagian dari kerumunan tanpa nama.

Awalnya, Sendi mencoba menata hidup. Anak pertamanya sudah bekerja di Perusahaan Teknologi Informasi  dan anak keduanya  sibuk dengan kuliahnya. Ia pun berusaha mencari pekerjaan untuk mengisi hari-harinya. Namun, usia yang tak lagi muda menjadi batu sandungan. Rambutnya yang mulai memutih membuat para pewawancara kerja mengernyitkan dahi, seolah berkata, “Sudah lewat masa produktifmu.”

Berkali-kali Sendi melamar pekerjaan, berkali-kali pula ia pulang dengan wajah letih dan senyum yang dipaksakan.

“Belum ada rezeki,” jawab Sendi singkat setiap kali aku menanyakan kabar.

Aku pun mencoba membantu dengan merekomendasikan Sendi kepada beberapa kenalan. Namun jawaban yang sama selalu keluar dari bibirnya, “Belum ada rezeki.”

Aku tahu, bukan hanya rezeki yang menjauh darinya, tetapi juga rasa percaya diri. Perlahan Sendi merasa terpinggirkan. Seorang ayah yang dulu menjadi sandaran keluarga, kini harus menggantungkan hidup pada anak pertamanya yang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta Nasional.

Saat tiba di Bandung, mereka sepakat mengontrak sebuah rumah mungil. Rumah itu cukup untuk tiga orang: Sendi, si sulung, dan si bungsu yang masih kuliah. Namun di balik rumah sederhana itu, tersimpan luka batin yang dalam. Harga dirinya terasa tercabik, meski ia berusaha menutupinya dengan diam.

Hari-hari Sendi di Bandung sering kuhabiskan bersamanya. Kami kerap duduk di warung atau tenda sate Padang milik kerabat sekampung. Di sana, kami memandang lalu-lalang kendaraan yang tak pernah berhenti menyemarakkan kebisingan ibu kota Parahyangan.

“Kadang aku merasa seperti orang asing,” kata Sendi suatu sore, “Orang asing di kota ini, orang asing di rumah sendiri. Bahkan, orang asing di hatiku sendiri.”

Aku hanya bisa menatapnya, tak sanggup memberi jawaban. Karena apa yang ia katakan, sesungguhnya juga benar adanya.

Kesepian benar-benar merenggut Sendi. Malam-malam panjang ia jalani seorang diri. Ia sering menatap foto istrinya yang dibingkai sederhana, seolah berbicara pada gambar bisu. Beberapa kali ia menelponku larut malam, sekadar untuk mendengar suara sahabat.

Aku tahu, itu cara Sendi melawan rasa terbuang yang makin menyesakkan. Puncak keterpurukan datang ketika pekerjaan terakhir yang ia harapkan, sekadar pekerjaan harian di sebuah proyek kecil, pun hilang. Proyek itu selesai dalam tiga bulan, dan pimpinan memutuskan merumahkannya. Sendi pulang dengan wajah kosong, seakan dunia runtuh di hadapannya.

“Mungkin ini balasan,” kata Sendi dengan nada getir, “Balasan atas segala salah yang pernah kulakukan.”

Aku tercekat. Sendi bukan lelaki sempurna, tetapi siapa di dunia ini yang sempurna? Namun di tengah kepedihan, ia memilih menyalahkan dirinya sendiri. Ia menanggung beban masa lalu yang tak semua orang tahu.

Hari-hari setelah itu membuatku khawatir. Sendi lebih sering diam, jarang keluar. Bahkan, makan pun seadanya. Tubuhnya yang dulu gemuk mulai mengurus. Matanya kehilangan cahaya. Aku pernah melihatnya duduk berjam-jam di masjid dekat kontrakan anaknya, memandangi lantai dengan wajah kosong.

“Kalau bukan karena anak-anakku,” kata Sendi lirih, “mungkin aku sudah menyerah sejak lama.”

Namun dari titik nadir itu, perlahan sesuatu berubah. Sendi mulai menemukan kesadaran untuk merilis segala luka yang ia alami. Aku melihat ia lebih sering berada di masjid, bukan hanya duduk diam, melainkan ikut berjamaah. Bahkan, sesekali menjadi imam atau muadzin.

“Entah kenapa, setiap kali aku sujud, aku merasa tidak benar-benar sendiri,” kata Sendi padaku dengan mata berkaca-kaca.

Perubahan itu tentu tidak seketika. Masih ada hari-hari ketika Sendi terpuruk, masih ada malam-malam penuh tangis rindu pada istrinya. Namun, di antara kesedihan itu, tumbuh secercah cahaya. Ia mulai bangkit, bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan langkah-langkah kecil: membantu anak-anak menyiapkan sarapan, atau sekadar menuliskan catatan di buku usangnya untuk mengisi waktu.

Allah menganugerahkan kepada Sendi keterampilan memasak, sesuatu yang dulu pernah menjadi ladang penghasilan bersama sang istri ketika mereka membuka kantin di sebuah instansi di Kota asalnya. Kini keterampilan itu kembali menjadi penghibur. Bahkan, pelipur luka. Aroma tumisan sederhana yang ia masak seringkali menjadi pengingat bahwa hidup masih harus dijalani, meski pahit.

Aku menyaksikan sendiri bagaimana perantauan yang awalnya terasa kejam, pelan-pelan justru menempanya. Dari kehilangan pekerjaan, Sendi belajar rendah hati. Dari kesepian, ia belajar mendekat pada Tuhan. Dari rasa terbuang, ia belajar menemukan dirinya kembali.

Bandung mungkin bukan kota yang ramah bagi Sendi, tetapi di sinilah ia mulai menata ulang hidupnya. Ia masih seorang ayah yang terluka, seorang lelaki yang kehilangan. Namun, juga seorang pejuang yang tak mau tenggelam.

Aku pun akhirnya menyadari satu hal: perantauan bukan hanya soal jarak dari kampung halaman. Perantauan adalah perjalanan untuk kembali menemukan siapa diri kita yang sebenarnya.

Bagi Sendi, Bandung adalah tanah ujian, tanah pahit. Namun, juga ladang harapan baru. Dalam setiap langkahnya, aku belajar satu hal: kehilangan bisa mengikis, tetapi juga bisa mengasah. Perantauan bisa menyakitkan, tetapi juga bisa menyembuhkan. Sendi, sahabatku adalah buktinya. (F.S.Y.)

***

Judul: Kehilangan dan Perantauan
Jurnalis: Febri Satria Yazid (FSY)
Editor: Jumari Haryadi

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *