ArtikelBerita Jabar NewsBJNFeatureOpini

Ketika Langit Pacet Menyapa Kenangan Sungai Balantiak

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik ARTIKEL/FEATURE, Rabu (12/11/2025) ─ Artikel bertajuk “Ketika Langit Pacet Menyapa Kenangan Sungai Balantiak ini adalah hasil tulisan Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Pagi itu, Minggu, 9 November 2025, pukul 08.30, embun masih enggan beranjak dari dedaunan ketika kami memulai perjalanan menuju Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Jalanan Soreang–Banjaran menjadi saksi langkah kami menembus pagi dengan hati yang hangat oleh semangat silaturahmi.

Tujuan perjalanan kami cuma satu: berkunjung ke rumah Diantika ─ seorang penulis yang namanya sudah akrab di telinga para pegiat literasi. Dalam perjalanan, saya ditemani dua sahabat seperjalanan yang luar biasa: Pak Jumari Haryadi ─ Pimpinan Redaksi Berita Jabar News, dan Pak Didin Tulus ─ Pemilik Penerbit Tulus Pustaka.

Mobil yang saya kendarai melaju perlahan mengikuti jalur yang cenderung mendaki. Namun, cerita di dalamnya berlari jauh, dari kisah pena dan kertas hingga perjalanan batin manusia yang tak lepas dari jatuh-bangun kehidupan. Tawa dan renungan berbaur menjadi satu, membuat 90 menit perjalanan dari Cimahi ke Pacet terasa hanya sekejap.

Menyetir mobil
Saya menyetir mobil di dampingi Pak Jumari di samping saya, sementara Pak Didin duduk di bangku tengah – (Sumber: Didin Tulus/BJN)

Sesampainya di sana, Teh Diantika dan suami menyambut kami dengan keramahan yang tulus, hangat seperti sahabat lama. Terutama bagi saya yang kali pertama tatap muka dengan Teh Diantika. Hal ini tentunya sangat mengesankan.

Obrolan kami pun mengalir deras, dari dunia literasi hingga cerita kehidupan yang menginspirasi. Ketika azan Zuhur berkumandang, kami berhenti sejenak, menikmati makan siang dengan nasi liwet dan lauk pauk tradisonal, lalu menunaikan salat di sebuah masjid nan megah yang berdiri tak jauh dari The Diantika.

Febri Satria Yazid)
Kami makan bersama dengan suguhan nasi liwet, sayur, dan lauk pauk khas Sunda – (Sumber: Febri/BJN)

Usai beribadah, langkah kami beralih menapaki keindahan alam sekitar. Di depan mata, hamparan sawah terbentang luas bagai lukisan hidup. Ada balong yang tenang dan sungai yang berkelok lembut di antara bebatuan.

Di tepian sungai, air mata air mengalir jernih ─ Di tatar Sunda sering disebut pancuran bambu atau parakan bamboo, tempat air keluar di daerah tinggi, biasanya dibuat dengan potongan bambu yang diarahkan ke bawah. Cai na kaluar tina parakan bambu, ngocor ka sawah (Airnya keluar dari pancuran bambu, mengalir ke sawah). Kalau di daerah asal saya di Minangkabau, Sumatra Barat dikenal  dengan istilah pancuran buluh atau buluh aia (buluh air).

Perjalanan menuju sawah
Usai beribadah, langkah kami beralih menapaki keindahan alam sekitar, mengikuti jalur jalan setapak menuju area pesawahan yang masih asri – (Sumber: Didin Tulus/BJN)

Aia pancuran tu turun dari buluh aia nan janiah, menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar. Ada yang mencuci, ada yang menimba air, semua berpadu dalam harmoni alami yang nyaris langka ditemukan di kota besar.

Saya dan Pak Jumari menyempatkan diri membasuh muka dari air jernih yang keluar dari pancuran bambu. Konon menurut Teh Diantika, masyarakat dapat meminum langsung air dari pancuran ini dan menurut hasil pemeriksaan dinas terkait, air ini layak dikonsumsi secara langsung.

Febri Satria Yazid)
Saya (kiri) dan Pak Jumari (kanan) menyempatkan turun ke sumber mata air yang terletak bawah pohon bambu di pinggir aliran sungai kecil – (Sumber: Diantika/BJN)
Febri Satria Yazid
Saya (kanan) bersama Pak Didin (kiri) dan Pak Jumari (tengah) berfoto di jembatan biru yang di bawahnya masih mengalir air nan jernih – (Sumber: Diantika/BJN)

Melihat pemandangan itu, hati saya bergetar. Alam Pacet seketika mengantarkan ingatan pada kampung halaman ayah saya (disebutnya “bako”) di Nagari Sungai Balantiak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.  Di sana, tempat seperti ini disebut “baruah” yang berarti “di bawah”, lembah yang menampung aliran air, membawa kesejukan dan ketenangan.

Aneh, tapi indah, bahwa dua daerah yang terpisah ribuan kilometer bisa terasa begitu serupa dalam suasana dan jiwa. Seolah Pacet dan Sungai Balantiak adalah dua saudara kembar yang dipisahkan oleh semesta.

Sekitar satu jam kami menikmati kesunyian yang menenangkan itu, sebelum akhirnya kembali ke rumah Teh Diantika. Di ruang tamu yang teduh, perbincangan literasi kembali bersemi, ditemani pisang rebus yang hangat dan secangkir kopi Arabika KoKama (Kopi KamoJang Mantap) yang menebarkan aroma khas pegunungan.

Febri Satria Yazid
Kami terlibat perbincangan seru seputar dunia literasi di ruang tamu sambil ditemani pisang rebus yang masih hangat – (Sumber: Diantika/BJN)

Waktu berjalan begitu cepat; jarum jam menunjukkan pukul empat sore, tanda kami harus pamit,  membawa oleh-oleh, bunga ,  kopi dan Novel “Handaru” karya teh Diantika IE.  Namun, hati kami tertinggal di sana, bersama rencana untuk kembali, kelak bersama lebih banyak sahabat pena.

Diantika IE
Novel “Handaru” persembahan dari Diantika IE, sang penulisnya – (Sumber: Didin Tulus/BJN)

Perjalanan pulang kami tempuh melalui Majalaya dan Rancaekek. Senja perlahan menurunkan tirainya, sementara di dalam mobil kami berbincang tentang sejarah orang Jawa yang dahulu dibawa  ke Suriname untuk bekerja, lalu saat dikembalikan ke tanah air dengan seribu tanya, mengapa mereka malah ditempatkan di daerah Tongar, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Betapa banyak kisah manusia yang berpindah tempat. Namun, tetap membawa serta akar dan budaya di dalam dada.

Ketika azan Magrib berkumandang, kami tiba kembali di Cimahi. Langit telah berubah menjadi jingga tua. Namun, di hati kami tersisa cahaya hangat ─ kenangan dari perjalanan yang bukan sekadar lintasan geografis, melainkan perjalanan jiwa.

Pacet dan Sungai Balantiak, dua nama, dua tempat, tapi satu rasa: kesejukan alam dan kehangatan manusia yang membuat siapa pun ingin kembali. (F.S.Y./BJN).

***

Judul: Ketika Langit Pacet Menyapa Kenangan Sungai Balantiak
Penulis: Febri Satria Yazid
Editor: Jumari Haryadi

Catatan:

Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis Febrisatriayazid.blogspot.com”.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *