ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpini

Ketika Gajah yang Memutuskan, Bukan Penunggangnya

BERITA JABAR NEWS (BJN), Rubrik OPINI, Sabtu (08/11/2025) – Esai berjudul Ketika Gajah yang Memutuskan, Bukan Penunggangnyaini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis/pengarang, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengira bahwa keputusan moral lahir dari proses berpikir yang rasional. Kita percaya bahwa manusia adalah makhluk logis yang menimbang baik dan buruk secara objektif sebelum mengambil sikap. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Dalam banyak hal yang mengejutkan. Moralitas bukanlah hasil dari logika, melainkan dari intuisi yang muncul lebih dulu—seperti gajah yang sudah memilih arah sebelum penunggangnya sempat berpikir.

Metafora gajah dan penunggang ini menggambarkan bagaimana intuisi mendominasi cara kita menilai benar dan salah. Gajah adalah intuisi: besar, kuat, dan bergerak cepat. Penunggangnya adalah logika: kecil, lambat, dan sering kali hanya berfungsi sebagai juru bicara yang membenarkan arah yang sudah dipilih oleh gajah.

Gajah
Seekor gajah sedang berjalan di tengah hutan belantara – (Sumber: Arie/BJN)

Dalam banyak kasus, kita merasa sesuatu itu salah atau benar tanpa bisa menjelaskan alasannya secara logis. Kita hanya tahu, dan kemudian mencari-cari argumen untuk mendukung perasaan itu. Fenomena ini menjelaskan mengapa perdebatan moral dan politik sering kali buntu. Dua orang bisa berdebat berjam-jam, saling menyodorkan data dan logika, tetapi tetap tak menemukan titik temu. Bukan karena salah satu bodoh atau keras kepala, melainkan karena mereka berangkat dari “resep moral” yang berbeda.

Moralitas bukan satu rasa, melainkan campuran dari enam landasan: kepedulian, keadilan, loyalitas, otoritas, kesucian, dan kebebasan. Kombinasi keenam rasa ini berbeda-beda pada tiap individu dan kelompok.

Kelompok liberal, misalnya, cenderung menekankan kepedulian dan keadilan. Mereka sensitif terhadap penderitaan dan ketimpangan.

Sementara kelompok konservatif lebih menghargai loyalitas, otoritas, dan kesucian. Mereka merasa penting untuk menjaga tradisi, menghormati hierarki, dan melindungi nilai-nilai yang dianggap sakral.

Libertarian, di sisi lain, menjunjung tinggi kebebasan sebagai nilai utama. Ketika ketiga kelompok ini bertemu dalam ruang publik, mereka membawa “kitab moral” yang berbeda, dan sering kali gagal memahami satu sama lain.

Kegagalan memahami perbedaan ini membuat kita mudah terjebak dalam debat kusir. Kita menganggap lawan bicara sebagai ancaman, bukan sebagai sesama manusia yang punya landasan moral berbeda. Kita lupa bahwa mereka juga punya gajah yang sedang berjalan dan penunggangnya hanya berusaha mengikuti.

Kita lupa bahwa loyalitas terhadap kelompok bisa membuat kita buta terhadap kesalahan sendiri. Kita menjadi seperti lebah yang menyatu dalam koloni: penuh semangat, tetapi kadang kehilangan arah. Namun, ada harapan. Jika kita ingin membangun dialog yang sehat maka kita harus belajar berbicara kepada gajah, bukan hanya kepada penunggangnya.

Artinya, kita harus memahami intuisi dan rasa moral lawan bicara sebelum menyodorkan data dan argumen. Kita harus memvalidasi perasaan mereka, menunjukkan empati, dan mencari titik temu dalam landasan moral yang mereka hargai. Baru setelah itu, logika bisa masuk dan berfungsi sebagai jembatan, bukan senjata.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pendekatan ini menjadi semakin penting. Kita tidak bisa lagi mengandalkan logika semata untuk menyelesaikan konflik moral dan politik. Kita harus menyadari bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dibentuk oleh intuisi, emosi, dan loyalitas. Kita harus belajar menari bersama gajah, bukan melawannya.

Esai ini bukan ajakan untuk meninggalkan logika, melainkan untuk memahami peran sebenarnya dalam dinamika moral manusia. Logika tetap penting, tetapi ia harus tahu diri: ia bukan penguasa, melainkan pelayan. Jika kita ingin membangun masyarakat yang lebih inklusif dan bijak, kita harus mulai dari sini—dari pengakuan bahwa gajahlah yang memutuskan dan penunggangnya hanya mengikuti. (Didin Tulus).

***

Judul: Ketika Gajah yang Memutuskan, Bukan Penunggangnya
Penulis: Didin Tulus, sang Petualang Pameran Buku
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.

Didin Tulus
Didin Tulus, Penulis – (Sumber: Didin Tulus/BJN)

Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.

Aktifitas dan Karir

Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.

Pengalaman Internasional

Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.

Kegiatan Saat Ini

Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.

Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *