Berita Jabar NewsBJNCerpen

Cerpen “Suara dari Bangku Pengangguran”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom Sastra, Senin (20/10/2025) – Cerpen berjudul “Suara dari Bangku Pengangguranmerupakan karya tulis Ummu Fahhala, S. Pd., seorang Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi yang tinggal di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

“Bu, kalau nanti aku ikut magang, aku bisa bantu Ibu bayar kontrakan, kan?”

Rina menatap ibunya dengan mata penuh harap. Gadis itu baru saja lulus kuliah, berbekal ijazah dan impian besar untuk mengubah nasib keluarga.

Ummu Fahhala, S. Pd.
Ummu Fahhala, S. Pd., Penulis – (Sumber: BJN)

“Bisa, Nak. Asal kamu kuat, ya. Magang itu kan belum tentu langsung kerja tetap,” ujar Ibunya Rina sambil tersenyum tipis.

Rina mengangguk, meski hatinya bergetar. Ia tahu, banyak temannya yang setelah magang justru kembali menganggur. Namun, ia menolak menyerah. Ia yakin, kerja keras pasti berbuah hasil.

Beberapa hari kemudian, notifikasi di ponselnya muncul: “Program Magang Berbayar untuk fresh graduate telah dibuka! Gaji setara UMP.”

Rina membaca dengan saksama. Gaji setara upah minimum! Ia hampir tak percaya. Akhirnya, pemerintah membuka peluang bagi anak-anak muda seperti dirinya untuk meniti karier. Ia segera mendaftar. Ia tak tahu, di balik kata “berbayar” itu, tersimpan ironi panjang yang sedang menjerat jutaan pemuda sepertinya.

Menurut laporan World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs, satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan China kini menganggur. Rina bukan satu-satunya yang berharap pada magang. Ada juga Bayu, sarjana teknik yang sudah dua tahun menganggur.

“Gaji magang Rp 3 juta, lumayan lah,” kata Rina, “Daripada nganggur.” Namun, sayangnya harapan itu buyar saat masa magangnya selesai. Ia kembali tanpa pekerjaan tetap.

“Saya jadi merasa, magang ini cuma nambah barisan pengalaman tanpa kepastian,” keluh Rina.

Kapitalisme: Sistem yang Membunuh Harapan

Ketika harta hanya berputar di antara segelintir orang, rakyat kecil hanya kebagian serpihan. Ketimpangan ekonomi kian nyata. Sementara pelatihan vokasi terus digaungkan, lapangan kerja justru menyempit.

Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Bukan kesejahteraan. Perusahaan bebas memecat demi efisiensi, dan negara tak bisa banyak berbuat. Di sisi lain, ekonomi nonriil—seperti saham dan perbankan ribawi—justru tumbuh subur. Ia memperkaya segelintir orang, tapi tak menciptakan pekerjaan nyata.

Sekarang, dunia kerja seperti arena kompetisi tanpa empati, kata Rina dalam hati, orang yang kuat bertahan, yang lemah tersingkir, tambah seruan batinnya.

Dulu, pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan berpikir. Kini, ia berubah menjadi pabrik buruh intelektual. Kampus berlomba-lomba melakukan link and match dengan industri. Mahasiswa bukan lagi calon pemikir, tapi calon pekerja siap pakai. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan, kini justru mengekang dengan logika pasar.

Islam dan Janji Keadilan Ekonomi

Rina menatap langit malam dari atap kontrakan mungilnya. Ia teringat ucapan dosennya dulu, “Islam itu bukan hanya agama ibadah, tapi sistem hidup.” Ia mulai berpikir, bagaimana jika ekonomi dijalankan seperti ajaran Islam?

Dalam Islam, harta harus berputar ke seluruh rakyat, bukan hanya dikuasai segelintir orang. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (H.R. Abu Dawud dan Ibn Majah).

Artinya, kekayaan alam seperti tambang, hutan, laut, dan sungai adalah milik umum. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk korporasi. Keuntungan dari pengelolaan itu digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat tanpa biaya.

Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki balig. Rasulullah Saw. pernah memberi iqtha’ (tanah garapan) kepada rakyat yang ingin bekerja. Negara menyediakan modal melalui baitulmal, bukan pinjaman berbunga.

Sejarah pun mencatat, di masa Khilafah Islam, rakyat hidup makmur. Tidak ada yang kesulitan makan, belajar, atau berobat. Semua terjamin tanpa biaya.

Penutup

Pengangguran, magang, dan ketimpangan hanyalah gejala dari akar yang lebih dalam, yaitu sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan manusia sekadar alat produksi. Namun, Islam mengajarkan jalan pulang. Sistem yang menempatkan manusia sebagai khalifah, bukan buruh pasar. Sistem yang menegakkan keadilan, bukan ilusi kesejahteraan.

Rina menulis di buku catatannya malam itu:

“Aku ingin hidup di negeri yang memberi makna pada kerja, bukan sekadar gaji. Negeri yang memuliakan rakyat, bukan memuja modal.” Di sanalah, di antara mimpi dan kenyataan, secercah harapan baru mulai menyala. Bukan hanya untuk Rina, tapi untuk seluruh pemuda negeri ini. (Ummu Fahhala).

***

Judul: Suara dari Bangku Pengangguran
Penulis: Ummu Fahhala, S. Pd., Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Editor: JHK

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *