ArtikelBerita Jabar NewsBJNOpiniSosial

Kolaborasi Manusia dan AI dalam Dunia Kerja Indonesia

BERITA JABAR NEWS (BJN) ─  Rubrik OPINI, Kamis (09/10/2025) ─ Artikel bertajuk “Kolaborasi Manusia dan AI dalam Dunia Kerja Indonesia” ini adalah hasil tulisan Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Dunia kerja sedang berada di persimpangan sejarah. Jika beberapa dekade lalu komputer dianggap sebagai “alat bantu” yang mempercepat pekerjaan, kini kita memasuki era baru yaitu era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

Sikap masyarakat Indonesia terhadap kehadiran AI (Artificial Intelligence) cenderung beragam, dipengaruhi oleh tingkat literasi teknologi, bidang pekerjaan, serta persepsi terhadap manfaat dan risikonya. Antara antusiasme, pragmatisme, kewaspadaan, dan ketidakpedulian.

Febri Satria Yazid
Febri Satria Yazid, Penulis – (Sumber: Arie/BJN)

Perkembangan ini membuat hubungan antara manusia dan teknologi berubah drastis. AI tidak lagi sekadar mesin otomatisasi, tetapi mulai diposisikan sebagai “rekan kerja digital”, teman kolaborasi yang bisa membantu manusia berpikir, menganalisis, hingga mengambil keputusan.

Laporan Microsoft Work Trend Index 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% karyawan di Asia Pasifik sudah menggunakan AI dalam rutinitas mereka, terutama untuk mengurangi beban administratif.

Sementara itu, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa penerapan AI di Indonesia dapat meningkatkan produktivitas nasional hingga 12% dalam satu dekade. Angka ini bukan sekadar proyeksi, melainkan sinyal kuat bahwa Indonesia memiliki peluang besar jika mampu mengelola transformasi ini dengan bijak.

Namun, perubahan cepat ini tentu membawa konsekuensi. Ada rasa optimisme yang besar, AI dianggap dapat mempercepat pekerjaan, meningkatkan efisiensi, dan membuka peluang baru. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran,  apakah pekerjaan manusia akan tergantikan? Apakah kesenjangan keterampilan akan semakin lebar? Apakah privasi data akan terancam?

Semua pertanyaan tersebut mengantar kita pada refleksi bahwa masa depan kerja bukan tentang manusia versus mesin, tetapi tentang bagaimana keduanya bisa berkolaborasi.

Pandangan lama tentang AI sering kali dipenuhi rasa takut yaitu:  “Mesin akan menggantikan manusia”. Kekhawatiran itu wajar, apalagi jika kita melihat perkembangan AI yang mampu menghasilkan teks, gambar, atau suara. Bahkan, kode pemrograman dalam hitungan detik. Namun, realitas di lapangan mulai menunjukkan sesuatu yang berbeda, AI lebih efektif jika diposisikan sebagai rekan kerja, bukan pengganti.

Contoh sederhana. Seorang staf administrasi di perusahaan besar biasanya menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengatur jadwal rapat, mengumpulkan data penjualan, atau menyusun notulen. Kini, dengan bantuan AI, pekerjaan itu bisa dilakukan secara otomatis.

AI dapat memindai kalender, mengatur jadwal sesuai ketersediaan peserta, menganalisis data penjualan dari ribuan transaksi, lalu menyajikannya dalam bentuk laporan yang rapi. Hasilnya, staf tersebut punya lebih banyak waktu untuk fokus pada hal yang lebih penting adalah membangun strategi, menjalin komunikasi dengan klien, atau memberi sentuhan personal yang tidak bisa dilakukan mesin.

Penerapan AI dalam bidang pendidikan
Iiustrasi: Penerapan AI dalam bidang pendidikan – (Sumber: Arie/BJN)

Perubahan pola pikir ini sangat penting. Dari yang semula “takut digantikan”, kini bergeser menjadi “bagaimana memanfaatkan.” Inilah yang disebut sebagai mindset kolaborasi. Manusia tetap menjadi pengarah, sementara AI menjadi eksekutor. Kombinasi keduanya menciptakan produktivitas baru yang lebih tinggi.

Meski prospeknya besar, realitas di Indonesia masih penuh tantangan. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yaitu keterampilan, keamanan, dan budaya kerja.

Tidak semua pekerja di Indonesia memiliki keterampilan digital yang memadai. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan besar antara pekerja di sektor formal perkotaan dan pekerja di sektor informal pedesaan.

Banyak pekerja yang belum terbiasa menggunakan perangkat digital dasar, apalagi memanfaatkan AI. Jika tidak ada upaya serius untuk melakukan reskilling dan upskilling, adopsi AI justru bisa memperlebar jurang kesenjangan.

AI bekerja dengan data, semakin besar data yang digunakan, semakin cerdas pula AI yang dihasilkan. Namun, di sinilah tantangan muncul. Bagaimana memastikan data pribadi karyawan, pelanggan, atau masyarakat tetap aman? Bagaimana menghindari penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab? Tanpa regulasi dan standar keamanan yang ketat, risiko kebocoran data bisa menjadi bumerang.

Tidak semua orang mudah menerima perubahan. Masih banyak pekerja maupun pimpinan organisasi yang merasa lebih nyaman dengan cara manual. “Kalau sudah terbiasa, kenapa harus diubah?” Adalah kalimat yang sering terdengar. Resistensi semacam ini bisa memperlambat transformasi digital. Oleh karena itu, perubahan budaya kerja perlu berjalan seiring dengan adopsi teknologi. Jika tantangan tadi muncul di berbagai sector.

Indonesia memiliki lebih dari 65 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor ini adalah tulang punggung ekonomi nasional. Sayangnya, banyak UMKM masih menghadapi kendala dalam pemasaran, pencatatan keuangan, dan layanan pelanggan. AI bisa menjadi solusi.

Bayangkan sebuah UMKM yang menjual produk makanan khas daerah. Dengan AI, pemilik usaha bisa menggunakan sistem pemasaran otomatis yang menjangkau konsumen lewat media sosial, memanfaatkan chatbot untuk melayani pertanyaan pelanggan 24 jam, atau menganalisis tren penjualan untuk menentukan produk mana yang paling diminati. Semua ini bisa dilakukan tanpa perlu biaya besar.

Perusahaan besar tentu memiliki sumber daya lebih besar, tetapi mereka juga menghadapi tantangan kompleks. Di sinilah AI berperan. Dengan AI, perusahaan bisa memangkas biaya operasional melalui otomatisasi proses bisnis, meningkatkan analisis data untuk memahami perilaku konsumen, serta mempercepat inovasi produk. Hemat waktu dan biaya operasional berarti lebih banyak ruang untuk ekspansi dan inovasi.

Pemerintah dan sektor publik juga bisa memanfaatkan AI untuk memperbaiki pelayanan masyarakat. Misalnya, proses perizinan yang selama ini memakan waktu berhari-hari bisa dipangkas menjadi hitungan jam dengan sistem berbasis AI. Pada bidang kesehatan, AI dapat membantu dokter menganalisis hasil laboratorium atau radiologi dengan lebih cepat, sehingga diagnosis bisa dilakukan lebih dini dan akurat.

Ada hal penting yang perlu selalu diingat bahwa AI bukan manusia. Mesin ini tidak memiliki perasaan, empati, atau intuisi. Ia hanya bekerja berdasarkan data dan algoritma. Di sinilah letak keunggulan manusia yang tidak tergantikan. Empati seorang perawat saat menenangkan pasien, kreativitas seorang seniman saat menciptakan karya, kemampuan seorang negosiator dalam membaca emosi lawan bicara, semua ini tidak bisa dilakukan AI.

Dalam dunia bisnis sekalipun, keputusan strategis sering kali tidak hanya berdasarkan data, tetapi juga pada intuisi dan visi. Oleh karena itu, masa depan dunia kerja akan tetap membutuhkan sentuhan manusia (human touch). AI boleh saja cerdas secara teknis, tetapi manusia tetap pemegang kendali arah. Keseimbangan inilah yang akan menentukan keberhasilan kolaborasi.

Bagaimana agar kolaborasi manusia dan AI di Indonesia bisa berjalan dengan sehat dan berkelanjutan? Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur arah transformasi ini. Regulasi yang jelas tentang penggunaan AI, perlindungan data pribadi, dan standar etika sangat dibutuhkan.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong pendidikan digital sejak dini, serta memberikan insentif bagi inovasi yang memanfaatkan AI. Perusahaan sebagai pengguna utama AI harus berinvestasi dalam pelatihan karyawan.

Reskilling dan upskilling tidak boleh dianggap sebagai beban, tetapi sebagai investasi jangka panjang. Perusahaan juga perlu menerapkan standar etika dalam penggunaan AI, agar tidak ada penyalahgunaan yang merugikan konsumen maupun pekerja.

Masyarakat juga punya andil. Literasi digital harus ditingkatkan agar masyarakat mampu memanfaatkan AI secara bijak. Jika masyarakat masih terjebak pada ketakutan berlebihan atau informasi yang salah tentang AI, maka peluang besar akan terbuang percuma.

Perjalanan kolaborasi manusia dan AI di Indonesia baru saja dimulai. Tantangan ada di depan mata, tetapi peluang yang terbentang jauh lebih besar. Masa depan bukan soal siapa yang lebih kuat, apakah manusia atau mesin.

Pertanyaan yang sesungguhnya adalah, siapa yang mampu berkolaborasi? Mereka yang bisa memadukan kecerdasan manusia dengan kecerdasan buatan akan menjadi pemimpin masa depan dunia kerja.

AI hadir bukan untuk menggantikan kita, melainkan untuk menemani. Ia bukan pesaing, tetapi sahabat digital. Oleh karena itu hal yang perlu kita lakukan bukan menolak atau takut, melainkan belajar, beradaptasi, dan berkolaborasi.

Ada sebuah pesan yang layak kita jadikan pegangan, “Bukan siapa yang lebih kuat, manusia atau mesin, tetapi siapa yang mampu berkolaborasi yang akan memimpin masa depan kerja.” (F.S.Y./BJN).

***

Judul: Kolaborasi Manusia dan AI dalam Dunia Kerja Indonesia
Penulis: Febri Satria Yazid
Editor: Jumari Haryadi
Catatan:

Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis Febrisatriayazid.blogspot.com”.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *