DPR RI Mencoreng Nama Indonesia di Mata Dunia: Isu Penyelewengan Kuota Tambahan Haji yang Tak Berdasar
BERITA JABAR NEWS (BJN), Kolom OPINI, Rabu (08/10/2025) – Artikel berjudul “DPR RI Mencoreng Nama Indonesia di Mata Dunia: Isu Penyelewengan Kuota Tambahan Haji yang Tak Berdasar” ini ditulis oleh Holil Aksan Umarzen yang merupakan seorang Pengamat Sosial dan Tokoh Masyarakat Jawa Barat.
Haji dan Reputasi Bangsa
Ibadah haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga cerminan wajah bangsa. Setiap tahun, lebih dari dua ratus ribu jamaah asal Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Di mata dunia Islam, Indonesia dikenal sebagai negara dengan manajemen haji terbesar dan paling tertib di dunia.

Namun, citra itu kini tercoreng oleh isu tuduhan penyelewengan kuota tambahan (T.0.) yang ramai digulirkan oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Tuduhan ini seolah menegaskan bahwa ada praktik “jual beli kuota” dan “kerugian negara” dalam penyelenggaraan haji khusus, padahal jika dicermati secara hukum, administratif, dan ekonomi, tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
Kuota Tambahan Bukan Aset Negara
Banyak orang tidak memahami bahwa kuota haji bukan aset keuangan negara. Kuota adalah jatah administratif yang diberikan oleh Kerajaan Arab Saudi kepada Indonesia berdasarkan hasil diplomasi antarnegara. Artinya, kuota haji tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa dinilai dalam uang, dan tidak tercatat dalam neraca keuangan negara. Negara hanya berperan sebagai pengatur dan pengelola, bukan pemilik.
Karena itu, tidak logis bila disebut ada “kerugian negara” dalam pembagian kuota tambahan, sebab tidak ada dana APBN yang hilang, tidak ada aset negara yang berpindah tangan dan tidak ada uang rakyat yang diselewengkan.
Mengapa Ada Kuota Tambahan?
Setiap tahun, pemerintah Arab Saudi kerap memberikan kuota tambahan (T.0.) kepada Indonesia sebagai bentuk penghargaan atas hubungan diplomatik yang baik. Tahun 2024, tambahan itu berjumlah sekitar 20.000 orang.
Kementerian Agama kemudian membagi kuota tambahan ini masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus (PIHK). Keputusan ini diambil melalui diskresi menteri, sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk menetapkan dan menyesuaikan kuota tambahan.
Sayangnya, pembagian 50:50 ini disalahpahami oleh sebagian kalangan DPR yang menilai bahwa seharusnya kuota tambahan tetap mengikuti pola 92% reguler dan 8% khusus, padahal aturan 92:8 itu hanya berlaku untuk kuota dasar, bukan untuk tambahan diplomatik.
PIHK: Mitra Negara, Bukan Musuh Negara
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) sering dijadikan kambing hitam seolah mereka pelaku “jual beli kuota”, padahal PIHK adalah lembaga resmi berizin dari Kementerian Agama yang menanggung seluruh biaya sendiri tanpa dana negara. Mereka justru membantu pemerintah dengan mengurangi beban APBN, memberikan layanan cepat dan profesional bagi jamaah mampu, serta mendorong pertumbuhan ekonomi syariah di sektor perhotelan, transportasi, dan perbankan.
Jadi secara ekonomi, keberadaan PIHK menguntungkan negara, bukan merugikan. Justru yang merugikan jika fitnah dan tuduhan tak berdasar ini terus disebar karena akan mengguncang kepercayaan publik dan hubungan diplomatik dengan Arab Saudi.
Dampak Terhadap Citra Indonesia
Isu yang digoreng politik menjadi “skandal kuota” telah menciptakan kesan bahwa penyelenggaraan haji Indonesia dipenuhi praktik curang, padahal justru sebaliknya. Selama ini sistem haji Indonesia sering dijadikan model pengelolaan jamaah terbesar di dunia oleh banyak negara muslim.
Pernyataan publik dari sebagian anggota DPR yang langsung menuding “korupsi kuota” tanpa bukti yang kuat telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan sorotan negatif dari media internasional.
Sebagai bangsa besar dengan reputasi diplomatik yang baik, seharusnya DPR berhati-hati dalam membuat pernyataan publik. Tuduhan tanpa dasar bukan hanya mencederai Kementerian Agama atau PIHK, tapi juga menodai kehormatan bangsa Indonesia di mata dunia Islam.
Masalahnya Bukan pada Kuotanya, Tetapi pada Oknum dan Komunikasi
Jika benar ada pungutan liar (pungli) atau aliran dana ilegal dari pihak tertentu maka itu adalah tanggung jawab oknum individu, bukan kesalahan sistem kuota atau kebijakan menteri. Hukum harus menindak tegas siapa pun yang melakukan pungli, tetapi jangan menyeret seluruh PIHK dan mekanisme haji sebagai seolah-olah bagian dari korupsi.
Di sisi lain, Kementerian Agama juga perlu lebih terbuka. Transparansi data dan digitalisasi distribusi kuota sangat penting agar masyarakat tahu: berapa tambahan kuota yang diterima, bagaimana pembagiannya, dan siapa saja yang berhak. Dengan begitu, tuduhan tanpa bukti bisa diluruskan dengan fakta.
Menjaga Kehormatan Ibadah dan Akal Sehat Publik
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Membawanya ke ranah politik dengan narasi korupsi yang belum terbukti sama saja dengan mencampurkan ibadah dengan sensasi politik.
Dalam negara demokrasi, kritik memang perlu, tetapi kritik tanpa dasar yang mengarah ke fitnah justru merusak kepercayaan umat dan mengaburkan nilai ibadah itu sendiri.
Kita perlu berhenti menjadikan ibadah haji sebagai alat politik karena setiap fitnah yang dilontarkan tanpa data, sesungguhnya melukai kehormatan jamaah, ulama, dan bangsa Indonesia di hadapan dunia.
Penutup
Tugas DPR seharusnya bukan membakar isu, tetapi mengawal kebijakan dengan data, etika, dan tanggung jawab moral.
Kementerian Agama perlu membuka ruang klarifikasi dan memperkuat pengawasan agar tak ada celah bagi oknum. PIHK sebagai mitra negara, pantas mendapatkan pembelaan hukum dan moral atas tuduhan yang keliru.
Kuota tambahan haji adalah buah diplomasi, bukan lahan korupsi. Menjaga kehormatan bangsa di mata dunia Islam adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Wallahu Khoerusyahid. Hanya Allah sebaik baiknya saksi.
***
Judul: DPR RI Mencoreng Nama Indonesia di Mata Dunia: Isu Penyelewengan Kuota Tambahan Haji yang Tak Berdasar
Jurnalis: Rd. H. Holil Aksan Umarzen
Editor: Jumari Haryadi