Fenomena Melabrak Pelakor di Media Sosial: Panggung Digital Para Istri Sah
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Jumat (26/09/2025) – Artikel pendek berjudul “Fenomena Melabrak Pelakor di Media Sosial: Panggung Digital Para Istri Sah” ini merupakan karya Binti Wasunah ─ Seorang guru mengaji di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ─ yang telah menulis beberapa judul buku.
Media sosial (medsos) sekarang bukan lagi tempat orang sekadar upload foto liburan atau makanan, tetapi sudah jadi panggung besar di mana drama kehidupan nyata ikut dimainkan. Urusan rumah tangga yang dulu hanya jadi bisik-bisik tetangga, kini bisa jadi tontonan publik.
Salah satu contoh adalah kasus perselingkuhan. Masalah ini seringkali tidak lagi diselesaikan di balik pintu rumah, melainkan diumbar di medsos, seperti di Facebook melalui status atay story. Bahkan, live streaming.

Fenomena “melabrak pelakor” di dunia maya pun muncul sebagai cara baru orang meluapkan emosi sekaligus mencari pembelaan. Ada yang merasa lebih lega karena dapat dukungan warganet, ada juga yang justru makin runyam karena masalah pribadi jadi konsumsi publik.
Fenomena ini menarik untuk dilihat karena selain menggambarkan perubahan cara orang menyelesaikan konflik. Juga menunjukkan betapa besar pengaruh medsos dalam membentuk opini dan keberpihakan orang banyak.
Medsos telah berubah dari sekadar album foto digital menjadi arena baru untuk menyelesaikan konflik, termasuk perselingkuhan. Apa yang dulu terjadi di ruang privat kini disiarkan secara langsung ke jutaan mata. Tindakan melabrak pelakor di dunia maya adalah sebuah fenomena yang bisa dianalisis dari beberapa sudut pandang.
Fenomena istri sah yang melabrak “pelakor” ─ perebut laki orang ─ di medsos adalah cerminan kompleks dari perpaduan antara sakit hati personal, kekuatan teknologi, dan pergeseran norma sosial.
Pernyataan yang mengungkapkan bahwa mereka melakukannya dengan berbagai ekspresi dan gaya masing-masing sangatlah tepat. Ini bukan lagi sekadar luapan amarah, melainkan sebuah pertunjukan di panggung digital yang memiliki tujuan, strategi, dan audiens. Mari kita bedah fenomena ini lebih dalam.
Mengapa Media Sosial Menjadi Pilihan?
Sebelum membahas gaya “melabrak pelakor” di dunia maya, kita perlu paham dulu kenapa media sosial jadi panggung utama. Instagram, TikTok, Facebook, dan X (dulu Twitter) bukan hanya tempat berbagi foto dan cerita sehari-hari, tetapi juga arena terbuka untuk melampiaskan emosi sekaligus mencari dukungan.
Pertama, ada soal efek jera dan sanksi sosial. Media sosial punya daya ledak besar: begitu identitas pelakor disebar, ribuan netizen bisa langsung menyerbu. Komentar pedas, hujatan, atau laporan ke tempat kerja dari para netizen ini telah menjadi sebuah bentuk hukuman instan.
Pernah ada kasus seorang wanita yang fotonya tersebar setelah dituding sebagai perusak rumah tangga orang. Dalam hitungan jam, reputasinya hancur, pekerjaannya di kantor pun terancam. Di sini, sang istri merasa tindakannya berhasil menciptakan efek jera—hukuman yang mungkin tidak bisa ia berikan sendirian, tetapi bisa diwujudkan lewat kekuatan massa.

Kedua, mencari validasi dan dukungan publik. Saat hati hancur karena dikhianati, seseorang butuh merasa tidak sendirian. Media sosial menyediakan “pasukan virtual” yang siap mendukung. Ribuan komentar, pesan simpati, dan doa mengalir begitu cepat.
Salah satu contoh, ada istri yang menuliskan curhatan panjang tentang perselingkuhan suaminya di Facebook. Dalam sekejap, ribuan komentar masuk—mayoritas memberi semangat agar ia tetap kuat. Validasi ini membuatnya merasa berada di pihak yang benar, seolah seluruh dunia berdiri membelanya.
Ketiga, media sosial menjadi wadah untuk membeberkan bukti. Jika gosip mulut ke mulut sering menimbulkan keraguan, media sosial bisa menyajikan bukti visual yang sulit dibantah. Screenshot chat, foto kebersamaan, atau bukti transfer bisa ditampilkan secara gamblang.
Publik langsung percaya karena ada “barang bukti”. Contohnya, ketika seorang selegram dituduh jadi pelakor, sang istri tidak hanya curhat, tetapi juga mengunggah bukti transfer uang dari suaminya ke akun wanita tersebut. Bukti itu seketika memperkuat narasi yang ia bangun dan dukungan pun mengalir deras.
Terakhir, ada faktor rasa ketidakberdayaan. Tindakan melabrak di media sosial sering kali bukan pilihan pertama, tetapi jalan terakhir. Bisa jadi sebelumnya istri sudah mencoba semua cara: bicara baik-baik dengan suami, meminta klarifikasi pada selingkuhan, atau melibatkan keluarga besarnya. Namun, ketika semua langkah itu tidak digubris, pikirannya pun serasa menemui jalan buntu. Media sosial akhirnya dijadikan “senjata pamungkas”—meski berisiko, setidaknya ia merasa punya cara untuk melawan.
Contoh kasus, seorang istri pernah mengaku sudah berulang kali mencoba menyelesaikan masalah keluarganya secara damai, tetapi gagal. Akhirnya ia membuat video curhat di TikTok yang viral. Justru dari situ keluarga besar ikut turun tangan menyelesaikan konflik rumah tangganya.
Singkatnya, medsos bukan hanya tempat berbagi, tapi juga arena berperang. Dari mencari dukungan hingga menjatuhkan sanksi sosial. Semua bisa dilakukan hanya dengan satu kali klik. Fenomena ini menggambarkan betapa besar pengaruh platform digital dalam membentuk narasi, opini, sekaligus nasib seseorang di mata publik.
Gaya Melabrak Pelakor di Media Sosial
Setiap istri punya cara sendiri dalam meluapkan amarah dan kecewa ketika membongkar perselingkuhan suaminya. Tergantung tingkat kecerdasan, karakter mental seorang istri. Di dunia maya, “gaya melabrak” itu muncul dalam berbagai bentuk—ada yang dramatis, ada yang satir, ada pula yang blak-blakan tanpa filter.
Dalam fenomena melabrak pelakor di media sosial, ada beberapa gaya yang sering muncul dan bisa dikenali dengan mudah. Pertama adalah gaya curhat panjang lebar. Ini merupakan cara paling klasik, biasanya berupa tulisan panjang di Facebook atau caption Instagram. Sang istri menceritakan kronologi lengkap, mulai dari tanda-tanda awal perselingkuhan, bukti chat mesra, hingga puncak kemarahannya. Ungkapan yang ditulis biasanya penuh emosi dan menyentuh hati, sampai-sampai netizen ikut terbawa suasana.
Gaya kedua adalah sindiran halus. Dalam gaya ini, istri tidak secara langsung menyebut nama atau memperlihatkan wajah, tetapi menyindir melalui quotes, lirik lagu, meme, atau story yang penuh makna. Walau tidak eksplisit, biasanya netizen bisa menebak siapa yang sedang dituju.
Selanjutnya ada gaya blak-blakan dan kasar, di mana identitas pelakor dibuka habis-habisan, lengkap dengan nama, foto, dan alamatnya. Bahasa yang digunakan pun cenderung keras tanpa sensor. Gaya ini memang cepat menarik perhatian publik, tetapi juga berisiko tinggi karena bisa berujung pada tuntutan hukum terkait pencemaran nama baik.
Fenomena lain yang belakangan sering muncul adalah gaya live streaming. Dalam model ini, sang istri memilih menyiarkan langsung aksinya ketika melabrak, entah di rumah, di kantor, atau saat bertemu langsung dengan pelakor. Live tersebut biasanya penuh dengan tangisan, teriakan, dan drama yang membuat netizen betah menonton serta aktif memberikan komentar—ada yang menyemangati, ada pula yang ikut memprovokasi.
Terakhir adalah gaya komedi dan satir. Tidak semua melabrak bernuansa muram, ada juga yang mengemasnya dengan cara lucu. Misalnya membuat video TikTok lipsync dengan lagu sindiran, atau menyelipkan meme kocak tentang pelakor. Gaya ini terlihat lebih ringan dan menghibur, tetapi tetap menyampaikan sindiran tajam kepada pihak yang dituju.
Tentu saja masih banyak lagi gaya yang dipakai oleh istri untuk melabarak pelakor, tengantung kecerdasan dan karakter seorang istri. Ada yang memilih jalur emosional dengan menangis dan marah-marah. Ada yang lebih rasional dengan menyajikan bukti secara sistematis. Namun, ada juga yang kreatif dengan humor atau sindiran halus.
Faktor kepribadian, pengalaman hidup, dan cara seseorang mengelola rasa sakit hati sangat berpengaruh terhadap gaya yang dipilih. Istri yang lebih tenang biasanya memilih jalur elegan dan terukur. Sementara itu yang temperamental cenderung frontal dan keras. Kreativitas pun bisa berperan, sehingga cara melabrak bisa dikemas dengan nuansa komedi, sindiran, atau lewat karya seni.
Sebagai contoh dalam film, kita bisa melihatnya dalam film “Surga yang Tak Dirindukan” (2015). Tokoh Meirose yang diperankan Laudya Cynthia Bella menjadi “pelakor” yang akhirnya terlibat dalam rumah tangga Pras dan Arini.
Arini (Fedi Nuril & Laudya Cynthia Bella) menghadapi konflik dengan cara yang tenang dan penuh perhitungan, tidak dengan melabrak kasar. Karakter Arini yang sabar dan rasional membuat cara ia menghadapi masalah lebih elegan, meskipun tetap penuh luka batin. Dari film ini terlihat bahwa karakter seorang istri sangat menentukan gaya melabraknya—ada yang memilih marah dan heboh, ada pula yang tetap menahan diri dengan kesabaran.
Kalau di film Indonesia seperti “Surga yang Tak Dirindukan”, sosok Arini digambarkan menghadapi pelakor dengan tenang, penuh kesabaran, dan lebih memilih solusi elegan maka di film Barat justru banyak contoh gaya melabrak yang frontal dan emosional.
Misalnya dalam film “The Other Woman” (2014). Film ini bercerita tentang seorang istri yang mengetahui suaminya selingkuh dengan beberapa perempuan sekaligus. Alih-alih diam, sang istri justru bersekutu dengan para selingkuhan suaminya untuk melancarkan “balas dendam”.
Gaya melabraknya sangat berbeda: penuh konfrontasi dan trik kocak. Bahkan, sampai menjatuhkan harga diri suami di depan umum. Film ini menggambarkan gaya melabrak yang blak-blakan, emosional, sekaligus kreatif—berbeda dengan gaya tenang Arini dalam film Indonesia.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa kecerdasan, karakter, dan juga budaya sangat memengaruhi gaya seorang istri dalam menghadapi pelakor. Ada yang memilih jalur sabar dan elegan, ada pula yang menyalurkan sakit hatinya dengan cara frontal, bahkan komedi.
Fenomena gaya melabrak ini menunjukkan bagaimana media sosial bukan hanya tempat “meledakkan bom emosi”, tetapi juga arena ekspresi kreativitas. Dari curhat penuh air mata sampai satire yang bikin ngakak, semua punya tujuan sama: melepaskan rasa sakit, sekaligus mendapatkan dukungan publik.
Dampak Positif dan Negatif Melabrak Pelakor di Media Sosial
Fenomena melabrak pelakor di media sosial membawa dampak yang berlapis. Di sisi positif, langkah ini sering menjadi katarsis atau pelampiasan emosi. Unggahan terbuka membuat beban hati terasa lebih ringan karena uneg-uneg yang dipendam akhirnya tersalurkan.
Dukungan publik juga memberikan energi baru: ribuan komentar simpati dan doa dari netizen bisa membuat seorang istri merasa tidak sendirian. Bahkan, diyakinkan bahwa ia berada di pihak yang benar.
Tak jarang, publikasi ini juga menciptakan efek jera. Identitas pelakor yang terbuka membuat reputasinya hancur, ia dijauhi lingkungannya, bahkan dalam beberapa kasus kehilangan pekerjaan. Semua itu memberi kepuasan tersendiri bagi istri, seolah keadilan telah ditegakkan.
Namun, sisi negatif dari tindakan ini tidak bisa diabaikan. Melabrak di ruang publik berisiko besar menimbulkan masalah hukum, terutama jika menyertakan nama, wajah, atau data pribadi yang bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
Tidak sedikit kasus yang akhirnya berbalik, sang istri justru dituntut balik oleh pihak yang dilabrak. Selain itu, membuka aib rumah tangga ke hadapan publik kadang merugikan diri sendiri. Alih-alih simpati, ada kalanya netizen justru menyalahkan istri karena dianggap tidak bijak menjaga rahasia keluarga.
Dampak jangka panjang pun tidak kalah berat. Anak-anak bisa menanggung stigma, keluarga besar ikut terseret, dan jejak digital yang sudah terlanjur viral sulit dihapus. Ironisnya, meski drama online menciptakan geger sesaat, masalah inti—retaknya hubungan dan hilangnya kepercayaan—tidak otomatis selesai. Luka batin tetap ada dan butuh proses penyembuhan yang lebih dalam.
Media Sosial, Senjata atau Bumerang?
Media sosial bisa menjadi senjata, tetapi juga bumerang. Ia bisa memberi rasa lega dan dukungan, tetapi juga bisa menjerumuskan ke masalah hukum dan stigma sosial. Bahkan, trauma yang lebih dalam.
Pada akhirnya, hal yang terpenting bukanlah bagaimana publik menilai, melainkan bagaimana seseorang menemukan jalan terbaik untuk pulih dari luka. Menjaga aib, bermusyawarah, dan mendekatkan diri pada Allah adalah solusi yang lebih menenangkan, dibanding mengumbar sakit hati di hadapan jutaan mata.
Mengapa demikian? Karena media sosial sejatinya hanyalah ruang publik yang tidak mengenal batas. Apa pun yang diunggah akan menjadi konsumsi banyak orang. Bahkan, bisa disimpan, disebarkan ulang, dan sulit dihapus selamanya.
Membuka aib di ruang publik memang bisa memberi kepuasan sesaat, tetapi kepuasan itu tidak pernah menyembuhkan luka batin. Sebaliknya, justru sering menambah masalah baru: hubungan makin rusak, reputasi tercoreng, bahkan risiko hukum mengintai.
Berbeda halnya dengan jalan yang ditunjukkan agama. Islam mengajarkan agar setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah, kesabaran, dan menjaga kehormatan. Menutup aib bukan berarti membenarkan kesalahan, tetapi menjaga agar luka tidak melebar menjadi fitnah yang lebih besar. Rasulullah saw pernah bersabda:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat.” (H.R. Muslim no. 2590)
Artinya, menahan diri untuk tidak mengumbar masalah ke publik adalah bentuk kebijaksanaan yang justru akan berbuah kebaikan di kemudian hari. Menyelesaikan konflik dengan kepala dingin, melibatkan keluarga atau pihak berwenang, serta mendekatkan diri pada Allah akan lebih menenangkan hati. Cara ini bukan hanya menjaga martabat diri, tetapi juga membuka peluang datangnya solusi yang lebih adil dan bijak.
Dengan kata lain, medsos memang bisa menjadi senjata, tetapi bila tidak hati-hati, ia lebih sering menjadi bumerang. Sedangkan musyawarah, kesabaran, dan doa adalah jalan yang lebih aman dan sesuai tuntunan agama untuk menemukan kedamaian setelah luka.
Bayangkan sebuah gelas kaca yang retak. Jika retakan itu kamu tunjukkan kepada seluruh orang di pasar, mungkin banyak yang akan menunjuk dan mencemoohkan. Bahkan, memotret, lalu menyebarkannya.
Gelas itu tidak akan kembali utuh, justru makin retak karena banyak tangan ikut menyentuh. Begitulah kira-kira saat masalah rumah tangga diumbar di media sosial. Alih-alih sembuh, luka justru melebar dan makin sulit diperbaiki.
Sekarang bayangkan skenario lain. Gelas yang retak itu kamu bawa pulang, lalu kamu perbaiki pelan-pelan dengan lem khusus. Memang butuh waktu, sabar, dan mungkin bekasnya tetap terlihat, tetapi gelas itu masih bisa dipakai, dan kamu tidak mempermalukannya di depan orang banyak.
Begitulah jika masalah diselesaikan secara tertutup: melalui komunikasi, musyawarah, atau melibatkan orang bijak yang dipercaya. Rasulullah saw pernah bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim no. 2590)
Perumpamaan ini menunjukkan bahwa membuka aib di media sosial hanya akan memperluas masalah, sementara menutupinya dan mencari solusi dengan cara yang baik justru menjaga martabat diri, keluarga, bahkan membuka jalan datangnya pertolongan Allah.
Refleksi dan Solusi Terbaik
Melabrak di media sosial memang terasa “memuaskan” pada awalnya, tetapi efek jangka panjang sering lebih merugikan. Solusi terbaik bagi seorang istri yang terluka bukanlah membuka aib di ruang publik, melainkan mencari jalan penyelesaian yang lebih tenang dan bermartabat.
Langkah pertama adalah bermusyawarah dengan suami secara baik-baik, karena komunikasi adalah kunci utama. Jika hal itu gagal, melibatkan pihak ketiga yang dipercaya—seperti keluarga besar, tokoh agama, atau konselor—lebih bijak daripada mengumbar masalah ke hadapan netizen.
Jika perselingkuhan terbukti dan rumah tangga tidak bisa dipertahankan, Islam juga memberikan jalan keluar yang mulia melalui perceraian yang sah secara syariat, daripada terus bertahan dalam hubungan yang merusak jiwa.
Al-Qur’an sendiri menegaskan pentingnya menjaga aib keluarga dan mengutamakan perdamaian. Allah swt berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada mereka.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 35).
Selain itu, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim no. 2590).
Dari dalil ini jelas bahwa membuka aib di ruang publik bukanlah jalan yang dianjurkan. Islam justru mendorong penyelesaian dengan cara menjaga kehormatan diri dan pihak lain, meski sedang disakiti.
Melabrak di media sosial itu seperti nge-post status marah: mungkin bikin lega sebentar, tapi jejak digitalnya abadi. Setiap manusia pasti punya kekurangan dan kesalahan, dan tidak semua kesalahan itu pantas diumbar ke hadapan orang lain.
Dengan menutup aib, kita sedang melindungi harga diri saudara kita sekaligus menjaga diri kita sendiri dari keburukan yang lebih besar. Allah menjanjikan balasan istimewa: siapa yang menjaga aib orang lain maka Allah akan menjaga aibnya di dunia maupun di akhirat.
Namun, menutup aib bukan berarti membiarkan kemungkaran yang berbahaya. Jika sebuah kesalahan merugikan banyak orang maka wajib untuk diungkap dengan cara yang bijak dan pada pihak yang berwenang.
Relevansi dengan adanya fenomena melabrak pelakor di media sosial sangat jelas: ketika seseorang mengumbar perselingkuhan secara terbuka maka yang rusak bukan hanya nama si pelaku, tetapi juga keluarganya sendiri, padahal dengan memilih jalan menutup aib, musyawarah, dan menyelesaikan masalah secara pribadi, seorang istri justru mendapat peluang lebih besar untuk dijaga kehormatannya oleh Allah di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
***
Judul: Fenomena Melabrak Pelakor di Media Sosial: Panggung Digital Para Istri Sah
Penulis: Binti Wasunah, seorang guru mengaji di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Editor: JHK