Cerpen “Wajah Kehidupan di Balik Topeng: Sebuah Pertanyaan dari Dalam Angkot”
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom SASTRA, Rabu (24/09/2025) – Cerita pendek berjudul “Wajah Kehidupan di Balik Topeng: Sebuah Pertanyaan dari Dalam Angkot” ini merupakan karya Binti Wasunah ─ Seorang guru mengaji di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ─ yang telah menulis beberapa judul buku.
Siang baru saja mulai merajut panasnya di langit Baleendah – Ciparay saat roda-roda angkutan kota membawaku pulang. Aroma kertas dan tinta segar dari buku yang baru dicetak masih samar-samar menempel, sebuah penanda dari dunia ide dan narasi yang baru saja kutinggalkan. Namun, tak kusangka, sebuah narasi yang jauh lebih nyata dan menusuk kalbu justru tengah menantiku di dalam bilik sempit yang berjalan ini.

Di sudut yang berhadapan denganku, duduk seorang perempuan muda. Usianya kutaksir tak lebih dari dua puluh dua tahun. Namun, garis-garis kelelahan di wajahnya seolah memahat cerita yang jauh lebih panjang. Sosoknya ringkih, dibalut pakaian yang lusuh oleh debu jalanan. Di pangkuannya, seorang anak perempuan kecil, mungkin berusia satu setengah tahun, merengek lirih. Sebuah rengekan yang bukan manja, melainkan sebuah permohonan polos akan jajanan yang dilihatnya di luar jendela.
“Nanti dulu jajannya di sana, ya, Nak,” bisik sang ibu dengan suaranya yang lembut ─ sebuah janji setipis embun pagi yang berusaha menenangkan tangis sang buah hati.
Pandangan aku tak sengaja jatuh pada benda-benda yang ada di sekelilingnya. Sebuah gelas plastik bekas minuman tergenggam di tangan yang legam dan kurus. Di dalamnya berkilauan keping-keping logam recehan dan kertas dua ribuan. Harapan yang terkumpul entah sejak kapan.
Di tangan yang lain perempuan muda itu tergenggam selembar kain serupa kerudung dengan warna-warni yang mencolok. Namun, sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdetak sesaat adalah benda yang ada di tangannya. Itu bukan kerudung biasa. Itu adalah topeng kain berbentuk kepala kucing yang jenaka, sebuah atribut yang begitu akrab di persimpangan jalan, penanda para penari yang menjemput rezeki dari belas kasihan.
Dunia seakan hening seketika. Potongan-potongan puzzle itu tersusun membentuk sebuah gambaran yang begitu gamblang dan perih. Perempuan muda ini dengan segala kepolosannya adalah seorang pengamen topeng keliling. Topeng kucing yang lucu itu adalah perisai sekaligus panggungnya.
Perempuan muda itu meminjam wajah kartun untuk menyembunyikan wajah lelahnya sendiri, menukar tawa dan gerak jenaka dengan beberapa keping rupiah demi sesuap nasi dan sebungkus jajanan untuk putrinya.
Rasa pilu menjalari seluruh rongga dadaku. Pemandangan itu lebih tajam dari ribuan kata yang pernah kubaca atau kutulis. Di sana, di hadapanku, duduk seorang pejuang. Seorang ibu yang menjadikan terik matahari dan bising jalanan sebagai sahabatnya. Ia menelan harga dirinya, mengenakan topeng keceriaan palsu agar tangis anaknya bisa berganti dengan senyuman.
Di tengah riuh klakson dan deru mesin, sebuah pertanyaan menggema sunyi di dalam batinku, ke mana suaminya? Pertanyaan itu bukan lahir dari penghakiman, melainkan dari kepedihan yang mendalam.
Apakah perempuan muda ini seorang diri menanggung beban hidupnya? Apakah ia ditinggalkan, ataukah takdir telah mengambil pasangannya lebih dulu? Atau mungkin, sang suami pun tengah berjuang di sudut kota yang lain dengan cara yang sama kerasnya?
Aku tak akan pernah tahu jawabannya. Namun, pertanyaan itu membuka sebuah jendela yang lebih besar tentang realitas sosial yang sering kali tak terlihat oleh kita yang melaju dalam kesibukan.
Perempuan di hadapanku ini adalah sebuah potret. Ia adalah representasi dari jutaan perempuan tangguh di luar sana yang menjadi tulang punggung, kepala keluarga, dan pahlawan tak kasat mata. Mereka adalah ibu, istri, dan anak perempuan yang pundaknya menopang beban yang terkadang tak sepadan. Mereka tidak meminta belas kasihan, mereka hanya berjuang dengan cara paling terhormat yang mereka tahu.
Angkot terus melaju, membawaku semakin dekat ke tujuan. Namun, perjalanan singkat siang itu telah membawaku pada sebuah perjalanan batin yang lebih jauh. Aroma buku baru di tanganku kini terasa berbeda. Ia bukan lagi sekadar tumpukan kertas, melainkan sebuah pengingat bahwa ada begitu banyak kisah nyata yang belum tertulis, kisah-kisah perjuangan yang tersembunyi di balik topeng, di sudut-sudut kota yang terlupakan.
Saat turun dari angkot, aku meninggalkan sebagian hatiku di sana, bersama ibu muda dan topeng kucingnya. Semoga janji jajanan untuk putrinya segera terwujud dan semoga malam membawakan mereka istirahat yang lebih damai dari siangnya yang keras.
Perjalananku pulang dari percetakan buku justru memberiku sebuah pelajaran paling berharga bahwa cerita terbaik sering kali tidak tercetak di atas kertas, melainkan terukir di wajah-wajah kehidupan itu sendiri. Terkadang, sampul yang paling lusuh menyimpan kisah yang paling agung.
***
Judul: Wajah Kehidupan di Balik Topeng: Sebuah Pertanyaan dari Dalam Angkot
Penulis: Binti Wasunah, seorang guru mengaji di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Editor: JHK