Berita Jabar NewsBJNCerpen

Misteri Sepasang Sepatu di Kampung Jingkang

BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Sabtu (30/08/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul Misteri Sepasang Sepatu di Kampung Jingkang ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Petang itu Kineh menelusuri jalan setapak. Tertatih-tatih menapakkan kaki menghindari batu dan kerikil tajam atau berhenti sejenak menghindari gundukan tanah basah, baru kemudian meneruskan langkah. Nama asli pria ini Ganung, tapi teman bermainnya memanggil Kineh.

Kineh baru saja menengok makam ibunya yang meninggal pekan lalu. Dalam sepekan ini hampir setiap hari dia berziarah. Tanah makam ibunya masih basah dan bunga duka yang mengering masih menghiasi pusara. Di pusara tertulis nama ibunya, Pertiwi, dipanggil bu Tiwi.

Setiap kali pulang ziarah, rasa kehilangan dan rasa kangen kepada ibunya sedikit terobati. Hanya rasa bersalahnya yang belum bisa berkurang. Kineh masih merasa sangat bersalah.

Disebabkan rasa bersalahnya, setiap hari Kineh berziarah, dan, hari ini dia kesorean. Di saat cahaya surya semakin redup dia baru akan beranjak meninggalkan makam.

Dia bukan sosok pemberani, dia malah takut gelap dan tidak suka sepi. Bunyi aneh sekecil apapun akan membuatnya kaget. Bahkan dia juga terjingkat saat ada bunyi kemresek serasah kering yang terinjak kakinya sendiri.

Dalam kelam Kineh terus melangkah. Lampu penerang jalan yang menggantung di tiang bambu sepanjang jalan setapak nyalanya riyem-riyem. Sepertinya dipasang sekedar sebagai penanda proyek listrik masuk kuburan sudah rampung.

Area pekuburan semakin gelap akibat rimbunnya tajuk pepohonan yang menutupi sinar lampu. Kineh menyalakan lampu senter dari handphone (Hp) jadulnya. Lumayan, setidaknya menambah terang dua langkah di depan.

Dalam hati dia berpikir: “Apakah kuburan memang harus menyeramkan seperti ini? Cahaya temaram, gundukan tanah, pohon Kamboja dan semerbak wangi bunga Kanthil…?”.

Dia lalu melangkah bergegas, berpacu dengan sisa batery Hp dan sedikit sisa keberaniannya. Dia menambah panjang langkah, jangan sampai nanti terperangkap gulita malam. Apalagi bulu kuduknya sudah mulai sesekali berdiri. Setiap tiupan angin membelai tengkuk, bulu kuduknya langsung berdiri.

Langkahnya semakin cepat, dan, dengan nafas ngos-ngosan dan keringatan, Kineh tiba di tepian jalan Desa. Sambil membuang nafas panjang, lega, Kineh berdiri tepat di bawah gapura yang kokoh berdiri menyambut pengunjung areal pamakaman.

Tiga baris tulisan melintang di gapura, “Selamat Jalan”, di bawahnya “Kullu nafsin dzâ’iqatul-maût, Setiap yang Bernyawa Pasti akan Merasakan Kematian”, dan paling bawah tertulis “Taman Pemakaman Kampung Jingkang”.

Di bawah tulisan itu Kineh berdiri tercenung beberapa saat, gamang, ada rasa kasihan meninggalkan ibunya sendiri di “sana”. Tapi malam sudah mulai senyap. Dia memutuskan untuk segera memeneruskan langkah, pulang.

Dia menyelusuri jalan pulang dengan buru-buru. Sayangnya, secepat apapun langkah kakinya, tidak bisa secepat jalan orang normal. Dia terlahir dengan bentuk kaki yang tidak biasa. Tidak ada sepatu dan sandal di toko yang cocok dengan kakinya, ke manapun pergi dia sering memilih tidak memakai alas kaki.

Saking kepinginnya memakai sepatu, Kineh pergi ke tukang sepatu memesan sepatu khusus.  Namun sepatu itu pada akhirnya hanya sesekali saja dipakai. Kineh terlanjur terbiasa berkaki telanjang.

Siapa sangka, dengan bentuk kaki seperti itu Kineh malah disukai teman-teman bermain sepakbola. Kata mereka, tendangan kaki kanan dan kirinya sama kerasdan arahnya susah diduga. Maka, setiap ada tendangan bebas Kineh ditugasi menyepak. Hampir semua tendangan penaltinya menghasilkan gol.

Menghadapi tendangan Kineh, Penjaga Gawang seperti ketemu lawan bermata juling, dikira nendang ke kiri ternyata ke kanan atau sebaliknya, penjaga gawang mati kutu.

Bagi Kineh, bermain bola sungguh sangat menyenangkan. Dia merasa dianggap penting dan bermanfaat bagi yang lain. Tapi di lain waktu, dia juga merasa sangat tertekan dengan bentuk kakinya. Tidak semua teman mau menerimanya dengan baik. Tidak sedikit teman mengejeknya, mereka menjulukinya “anak berkaki aneh”.

“Haiii Kineh, ayo balapan lari… hahaha…”, mereka memanggilnya Kineh, singkatan dari si Kaki Aneh. Itulah awal nama Ganung hilang diganti Kineh. Panggilan itu diawali oleh Gijul, sebaya yang paling jahil, anak pak Tejo, orang kaya di kampung.

Banyak ejekan-ejekan Gijul lainnya yang sering membuatnya pulang menangis di pelukan ibunya. Dengan penuh kasih, ibunya membelai kepala sambil menghibur dan menguatkan hati anaknya. Gijul memang terlalu.

Ibunya pernah mendatangi pak Tejo: “Pak, tolonglah nasehati anakmu itu, jangan jahil sama anakku…”.

Jawabnya: “Halaah, namanya juga anak-anak, biarin saja Wi……”.

“Gak kasihan sama anakku Pak?”, jawab Pertiwi setengah mengiba, mohon dikasihani.

“Halaahhh…, sekarang kamu mengiba-iba…, dulu kamu menendangku kayak bola sepak…”, kata pak Tejo.

Lalu dilanjut: “Coba kalau dulu kamu mau sama aku Wi…,anak kita pasti sehat dan hidupmu gak akan sengsara…”, kata pak Tejo sambil senyum penuh kemenangan melampiaskan dendamnya. Pertiwi diam tidak menjawab dan dengan muka kecut dia pulang.

Perempuan ini tidak mau terbawa larut ke masa lalu. Dulu, pak Tejo pernah menyukai dan ingin memperistrinya tapi Pertiwi menolak dan memilih Dodo, bapaknya Kineh. Penolakan itu sangat menyakitkan hati pak Tejo.

Memilih dengan Dodo dari Tejo bagi Pertiwi ternyata ibarat lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Dua laki-laki itu sama brengseknya, hanya pandai membungkus diri dengan kepalsuan dan bahkan kebohongan.

Dodo, setelah Kineh lahir dengan kaki tidak sempurna, berubah menjadi kasar. Sedang bagi Partiwi, Kineh, meski tidak sempurna, dia lindungi dan sayanginya benar. Siapapun yang mengganggu akan dilabraknya.

Kineh pun kadang tidak membiarkan mereka mengejeknya, apalagi kalau sudah keterlaluan akanmuncul keberaniannya untuk melawan. Seperti terjadi suatu sore, Gijul yang sudah berlebihan mengejek, ditantangnya adu jotos.

“Haha, Kineh ngajak kelahi…., ayo sini…”, kata si Gijul,

Entah kesombongan apa yang membuat Gijul arogan,padahal dia bukan anak konglomerat dan bukan pula anak pejabat.

Tanpa rasa takut, Kineh mendekati Gijul, pasang kuda-kuda siap beradu otot. Dia lupakan kakinya yang susah bergerak lincah, dia ingin menghentikan sikap takabur si Gijul.

Beberapa teman menasehatinya untuk sabar dan tidak usah meladeni. Tapi yang lain sudah berdiri keliling membuat semacam lingkaran arena tinju dan memanas-manasi suasana.

Gijul dengan setengah berteriak, ngomong: “Sini maju Kineh…, rasakan tinjuku ini…”.

“Ayoo sini, siapa takut…”, kata Kineh dengan gigi gemeretak.

Tanpa aturan dan tanpa wasit, dua anak laki-laki itu berkelahi sekenanya. Awalnya seimbang, tetapi dengan cerdik, Gijul bergerak seperti petinju kelas dunia, berputar-putar sambil memukul Kineh dari segala arah.

Kineh tidak bisa mengikuti kelincahan kaki lawannya, beberapa kali terkena pukulan dan akhirnya tersungkur.Gijul kesetanan, tanpa ampun dan tanpa rasa kasihan terus menghajar Kineh.

Riuh rendah dan sorak-sorai anak-anak menarik perhatian warga. Salah satunya Pertiwi yang membawa sapu lidi menyabet kesana-kemari membubarkan keramaian.

“Duuh anakkuuu….”, teriak Pertiwi. Disabetkan terus sapu lidinya tanpa arah, membuat anak-anak takut dan kabur.

Tanpa banyak omong direngkuh anaknya dan dipapah melangkah pulang. Si anak hanya ngomong: “Maaf Bu, dia ngejek terus…, aku gak tahan…”.

“Aku kalah lagi.…”, katanya pelan.

“Iya Nak, kita pulang dan bersihkan tubuhmu…” kata Ibunya pelan dan tenggorokan tercekat menahan tangis.

Derita yang dialami Kineh sering membuat jantung Pertiwi berdebar keras, kepala berputar-putar dan tubuh lemas tak mampu berdiri. Malam hari wanita itu tidak bisa tidur. Itu dia alami hampir setiap hari.

Sampai di rumah, Kineh lihat bapaknya sedang minum kopi hitam dan hanya melirik tajam sambil ngomong: “Bagaimana.., keok lagi..?”.

Kineh diam dan hanya membatin: “Bapakku aneh, setiap kali ada ejekan hingga berkelahi, bukan membelaku tapimalah ikut mengejek. Selalu Ibuku yang maju membela di depan, sebenarnya dia bapakku bukan sih?”.

Berbeda dengan Gijul, dia pulang dengan gagah dan bercerita ke pak Tejo, bapaknya, telah menang berkelahi dengan Kineh. Tejo dengan air muka puas memuji Gijul sebagai anak yang kuat dan pemberani.

Gijul disegani dan dipatuhi banyak temannya. Gaya hidupnya wah, bajunya, motornya dan sepatunya selalu yang terbaik. Lebih lagi, Gijul suka mentraktir. Tidak heran teman datang dari berbagai kalangan. Tapi tidak semua berperilaku baik, ada juga yang suka ribut.

Suatu pagi, sebelum subuh, dua kotak amal Musholla raib. Mata warga langsung tertuju pada Gijul dan kawan-kawan. Seantero kampung geger dan riuh dengan berbagai komentar.

Warga pada berkerumun di pekarangan Mushola. Kata seorang bapak: “Wah, harus diusut nih, walaupun ini kejadian pertama, jangan sampai terjadi lagi…”.

“Betul, cukup sekali ini saja…!”, kata seorang bapak.

“Setuju, tuman tuh…!”, kata yang lain padahal dia tidak pernah ke Musholla.

Kata Ibu-ibu: “Pasti gerombolan Gijul nih…, siapa lagi…”.

Dijawab yang lain: “Gak boleh berprasangka lhooo…”

Kata Marbot Mushola: “Panggil Polisi saja…, tangkap dan penjarakan”.

Ternyata Partiwi, ibunya Kineh, ada di situ. Dia ikut berkomentar: “Setuju, tangkap dan disunati saja, biar kapok…”.

Pak RT mencoba menenangkan warganya dan meminta agar menjaga kerukunan dan keguyuban warga.

Diam-diam pak Tejo dan Gijul juga datang ke kerumunan. Rupanya ada yang memberitahu nama Gijul disebut-sebut dalam peristiwa hilangnya kotak amal.

“Mohon maaf pak RT dan bapak-ibu sekalian…, saya dengar nama anak saya disebut-sebut…, sekarang Gijul ada di sini….”, kata pak Tejo sambil menunjuk ke Gijul.

Gijul tampak menunduk dengan muka ciut.

“Gijul bilang ke saya, dia tidak mengambil kotak amal…,…”, kata pak Tejo, lalu melanjutkan: “Tapi saya katakan di sini, kalau terbukti dia pelakunya, akan saya bawa sendiri dia ke Polisi…”.

Kerumunan pun berdengung seperti rombongan lebah madu terbang dan berdesis dengan komentar masing-masing. Ada yang percaya dan ada pula yang bimbang dan ragu.

Pak RT sekali lagi mencoba meredakan kegaduhan dengan memberi pernyataan: “Kalau memang pelakunya warga di RT sini, silahkan ke rumah saya baik-baik untuk diselesaikan secara kekeluargaan…”.

“Lho gak diserahkan ke yang berwenang pak RT…?”, kata yang lain.

Pak RT menjawab: “Tidak usah, kita kan orang timur…”.

“Haha, pak RT lucu.., orang timur mana itu, Timur Tengah, Timur Jauh atau Timor Timur…?”, lalu disambut ketawa ngakak yang lain.

Orang-orang satu persatu mundur. Sedangkan Gijul dengan muka merah bersama beberapa teman pergi mencari bukti dan alibi.

Hari itu kampung gonjang-ganjing, semua membicarakan peristiwa itu dan menebak siapa pelakunya. Semua bersuara dengan analisa masing-masing, persisi seperti di TV. Sebagian besar menuduh Gijul.

“Siapa lagi kalau bukan Gijul, dia yang sering bergajulan….”, kata seseorang.

“Betul, kalau bukan dia ya pasti teman-temannya…”, kata yang lain bisik-bisik.

“Kayaknya sih iya, mereka anak orang kaya, tetapi gaya hidupnya kan butuh banyak uang…”, sambut yang lain lagi.

Semua sibuk bicara tetapi tidak ada yang mencoba mencari barang yang hilang. Semua suka hoak, tapi tak satupun mencoba mencari yang benar. Semua ngomongin orang, tidak ingat dia sendiri juga bisa menjadi sasaran omongan orang.

Pak RT agak gelisah. Dia tidak mau lingkungannya menjadi gaduh, resah dan saling mencurigai. Dia berpikir warga harus kembali guyub dan rukun. Dia berharap maslah ini segera selesai tuntas.

Pak RT pilihan warga ini sabar menunggu.

Benar, tidak sampai Maghrib, ada salah satu warga dengan tergopoh-gopoh datang ke pak RT, melaporkan telah menemukan dua kotak amal dalam keadaan rusak dan kosong di kebon nanas.

Warga ini menambahkan informasi: “Anu Pak, didekat kotak amal itu ada banyak jejak sepatunya Kineh…”.

“Haah, ya ampuuun, kok bisa sih…”, kata Pak RTbingung.

Sebelumnya tidak ada satu orangpun mengira dan membicarakan Kineh. Berita mengagetkan ini pun dengan cepat menyebar. Ada yang langsung percaya ada pula yang tidak.

Pak RT mencecar si pelapor: “Kamu yakin itu jejak sepatu Kineh…?”

“Yakin seribu persen pak RT”, kata si pelapor dengan suara mantap.

“Itu jejak sepatu Kineh asli kan…?”, tanya pak RT lagi.

“Yakin seribu persen pak RT, itu asli, bukan palsu”, kata si pelapor mengulangi keyakinannya.

Pak RT menambahkan: “Awas, kalau keliru, bisa menjadi fitnah dan pencemaran nama baik…!”

“Yakin seribu persen pak RT”, kata si pelapor mengulangi lagi keyakinannya.

“Okey, ayo kita ke rumah bu Pertiwi, kita tanya Kineh dan lihat sepatunya. Cocok tidak dengan laporanmu …”, kata pak RT.

Rumah bu Pertiwi tidak jauh, mereka berdua berjalan kaki dengan diam. Masing-masing asik dengan pikirannya.

Bu Pertiwi bengong melihat Pak RT datang ke rumah.  Ditemani Kineh mereka menyambut dua orang tamu itu. Bapaknya sedang kerja di luar kota berangkat tadi subuh. Mereka lalu duduk berempat mengelilingi meja di ruang tamu.

Setelah basa-basi, Pak RT memulai menyampaikan maksud kedatangan. Pak RT sebetulnya tidak tega melihat bu Pertiwi gelisah dan muka memucat. Tapi apa boleh buat, masalah ini tidak boleh berlarut-larut. Harus segera selesai.

Dengan lugas dan bahasa yang mudah dimengerti, Pak RT menyampaikan tentang kotak amal yang hilang dan telah ditemukan dalam keadaan rusak dan kosong. Selain kotak amal, si penemu juga melihat banyak jejak sepatu Kineh, hanya Kineh yang memiliki sepatu dengan bekas pijakan seperti itu.

“Kami ke sini ingin melihat sepatu Kineh…”, kata Pak RT.

Kineh menyahut: “Tidak usah Pak…”

Ibu Pertiwi menyergah: “Tapi bukan kamu yang mengambil kan Nak…?”, tanyanya ke Kineh dengan suara gelisah.

“Katakan Nak, bukan kamu kan…?” ulang bu Pertiwidengan nada panik. Wanita ini merasa sudah maksimal dalam mendidik anaknya, tapi kalau sampai Kinehmencuri kotak amal, sunggul sangat mengecewakan.

Pak RT menjadi risih, tapi memahami perasaan seorang Ibu saat menghadapi masalah serupa ini, lalumenyambung: “Maaf bu Tiwi, mari beri kesempatan kepada Kineh untuk bicara…”.

“Baik Pak RT…., saya sudah dengar nama dan sepatu saya mejadi omongan di masyarakat. Mohon maaf Pak RT, dari kemarin sore saya juga kehilangan sepatu itu….”, kata Kineh dengan suara bergetar.

Kineh meneruskan: “Maaf Ibu, Pak RT boleh percaya boleh tidak atas omongan saya, silahkan bantu mencari sepatu saya itu…”.

“Okey Kineh, ada berapa sepatumu…?”, Tanya Pak RT.

Kineh melirik ke ibunya yang terlihat semakin lemah dan duduk bersandar di kursi. Sebelum menjawab Kineh minta ijin mengambil minuman kopi hitam untuk ibunya.

Kineh menyorongkan gelas minuman ke ibunya: “Minum dulu Bu, biar bertenaga…”.

Ibunya dengan lemah menggelengkan kepala. Diambilnya sedotan dan kembali dikasihkan ke ibunya, tapi bu Pertiwi tetap menggeleng.

Pak RT menimbrung: “Sudah, jangan dipaksa…”.

Kata Kineh selanjutnya: “Begini Pak RT, saya punya sepatu hanya satu, dan itu satu-satunya, itu asli terbuat dari kulit, bukan palsu…”,.

“Jangan bohong Kineh…”, kata anak muda dari emperan rumah. Lalu ditimpali yang lain: “Iya jujur saja…”.

Pak RT: “Tenang… Jangan memprovokasi yaa…”

Lalu Pak RT menambahkan: “Nanti saya minta ijin ikut mencari sepatumu ya…”.

“Silahkan Pak RT…”, kata Kineh.

Sebelum mencari, Pak RT bertanya: “Tapi sebelum itu, apa ada tambahan yang mau disampaikan…?”.

“Ada sedikit Pak…”.

“Silahkan…”, kata Pak RT

“Pak RT, saya ini orangnya penakut, takut sepi dan takut gelap…, takut ketemu hantu…”, kata Kineh.

Tidak diduga, bu Pertiwi dengan suara lemah menyahut: “Betul sekali itu Pak, sudah segede itu saja masih tidur sama saya…, samalam juga tidak kemana-mana, dia tidur di sebelah saya…”.

Lalu Kineh menambahkan: “Jadi, saya tidak bisa membayangkan diri saya sendiri, tengah malam keluyuran ke Musholla, mengambil kotak amal, lalu pergi ke kebun Nanas dalam gelap gulita…., tidak Pak, saya tidak berani…”.

Pak RT mendengarkan dengan sangat serius sambil berpikir, kira-kira siapa yang mengambil sepatu Kineh, lalu dipakai untuk mencuri kotak amal di Mushola. Sambil terus berpikir, Pak RT ditemani Kineh dan satu warga pelapor mencari sepatu Kineh.

Mereka berputar ke kiri, ke kanan, melongok semua kolong, ke dapur, dan mengelilingi emperan rumah, tapi tidak ketemu juga. Warga sudah membubarkan diri.

Mereka bertiga kembali ke ruang tamu dan terkejut mendapati bu Pertiwi sudah terjerembab mencium lantai, tidak bergerak. Dengan sigap Pak RT dibantu Kineh membawa wanita itu ke Rumah Sakit.

Pagi esok harinya ada tiga peristiwa penting bagi kampung Jingkang. Pertama, ibu Pertiwi wafat, bapaknya Kineh tidak pulang meski sudah dikabari istrinya meninggal dan Gijul minggat bersama temannya.

Beberapa pekan setelah itu, pak Dodo maupun Gijul belum juga terlihat batang hidungnya. Pak RT tenggelam dalam kesibukan mengurusi PBB. Matahari di kampung Jingkang masih bersinar terang dan sepasang sepatu Kineh semakin dilupakan orang.

***

Judul: Misteri Sepasang Sepatu di Kampung Jingkang
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.

Sarkoro Doso Budiatmoko
Pengarang/Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko – (Sumber: koleksi pribadi)

Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.

Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021, sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.

Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.

Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *