Soft Living: Menikmati Hidup, Bukan Dikejar Hidup
BERITA JABAR NEWS (BJN) ─ Rubrik OPINI, Jumat (15/08/2025) ─ Artikel bertajuk “Soft Living: Menikmati Hidup, Bukan Dikejar Hidup” ini adalah karya tulis Febri Satria Yazid, seorang pengusaha, penulis, dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Di tengah riuhnya dunia yang serba cepat, di mana keberhasilan sering diukur dari seberapa banyak pencapaian yang kita raih dan seberapa sibuk kita terlihat, muncul sebuah arus baru yang mengalir lebih pelan: soft living. Gaya hidup ini mengajak kita untuk tidak sekadar hidup, tetapi menikmati hidup. Bukan berarti menolak kerja keras, melainkan mengatur ritme agar kita tidak terjebak dalam hustle culture, budaya yang memuja kesibukan dan menganggap sibuk sebagai tanda sukses.
Menurut pakar psikologi Setyawati (2020), hustle culture adalah budaya yang memicu seseorang menganut workaholism atau “gila kerja”. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Wayne Oates dalam bukunya “Confessions of a Workaholic: The Facts About Work Addiction” pada 1971. Dalam praktiknya, hustle culture sering membuat kita lupa bahwa tubuh dan pikiran punya batas. Kita terus mengejar target, menambah jam kerja, dan merasa bersalah saat beristirahat. Seakan-akan nilai diri hanya diukur dari seberapa sibuk kita. Soft living hadir sebagai penyeimbang, mengingatkan bahwa kualitas hidup jauh lebih berharga daripada kuantitas pencapaian.

Pandemi COVID-19 menjadi titik balik bagi banyak orang. Saat dunia dipaksa berhenti sejenak, kita mulai mempertanyakan: Apakah hidup ini hanya tentang bekerja dan mengejar materi?
Banyak orang yang menyadari bahwa kesehatan, baik fisik maupun mental adalah aset yang jauh lebih mahal daripada semua penghargaan di meja kerja.Survei di berbagai negara menunjukkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, terutama di kalangan generasi muda.
Data juga memperlihatkan tren burnout (Menurut Kamus American Psychological Association yang dikutip dari website “Cleveland Clinic”, burnout adalah kelelahan secara fisik, emosional, atau mental yang disertai dengan penurunan motivasi, kinerja, dan munculnya sikap negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain).
Kelelahan fisik dan mental akibat tekanan kerja, semakin meningkat di kelompok pekerja usia 20–35 tahun. Fenomena ini membuat sebagian orang memilih untuk memperlambat langkah, mengatur ritme, dan memberi ruang bagi diri sendiri.
Menjalani hidup dengan ritme sehat membutuhkan kesadaran dan keberanian. Kita semua adalah khalifatullah di muka bumi, masing-masing punya peran unik yang diamanahkan oleh Tuhan. Fokuslah pada peran itu dan jalankan dengan sepenuh hati.
Saat kita berhenti membandingkan pencapaian dengan orang lain, rasa syukur akan hadir dengan sendirinya. Selanjutnya kita harus mampu mengelola stress karena stres adalah hal yang lumrah, pilihan ada pada diri kita apakah dibiarkan menumpuk hingga menjadi beban, atau diurai dengan cara sehat seperti olahraga, hobi, atau ibadah.

Menjaga hubungan dan koneksi yang sehat dengan keluarga dan sahabat adalah benteng yang membuat kita tetap waras di tengah tekanan kerja. Luangkan waktu untuk bercengkerama, bertatap muka dan bukan hanya melalui media sosial, misalnyadenganmengirim pesan singkat.
Bahwa setiap kita menginginkan pencapaian yang spektakuler dalam berkarir atau dalam meraup keuntungan besar dalam hidup adalah hal yang lumrah. Namun demikian, agar prosesnya dapat berjalan dengan baik dalam irama yang harmoni maka kita perlu melatih kesadaran. Tidak semua hal bisa dicapai secara instan, kesabaran mengajarkan kita untuk menghargai proses, bukan hanya hasil, menetapkan prioritas, mengingat waktu dan energi kita terbatas.
Hal penting lainnya yang perlu kita latih adalah belajar mengatakan “tidak” pada hal yang tidak sejalan dengan tujuan hidup dan itu merupakan bentuk nyata dalam kita menghargai diri sendiri. Dalam menjalani proses panjang, pada setiap fase yang kita jalani, perlu ditanamkan rasa syukur yang membuat kita merasa cukup. Bahkan, di tengah keterbatasan. Ini adalah fondasi dari kebahagiaan yang tahan lama.
Rasa syukur yang dalam akan berdampak pada kemampuan diri dalam menjaga keseimbangan, termasuk menyelaraskan antara kerja keras dan istirahat karena kedua tindakan ini bukanlah musuh, keduanya harus berjalan beriringan. Hal yang tidak kalah penting yang perlu kita bina adalah kemampuan diri untuk beradaptasi dengan perubahan. Dunia selalu berubah, mereka yang mampu beradaptasi akan lebih tenang menghadapi ketidakpastian.
Agar soft living dapat kita terapkan dalam kehidupan kita maka beberapa langkah jitu dapat kita lakukan, antara lain dengan memilih pekerjaan yang fleksibel, memberi ruang untuk mengatur jam kerja sesuai kebutuhan pribadi, mengatur waktu istirahat yang cukup, tanpa merasa bersalah karena berhenti sejenak, mengurangi konsumsi berlebihan, membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, membatasi jam layar (screen time) agar tidak tenggelam dalam dunia digital dan lupa pada dunia nyata.
Rani, seorang freelancer di Jakarta, membagikan pengalamannya, “Dulu saya bangga kalau tidur hanya empat jam demi menyelesaikan proyek. Namun, setelah sakit, saya sadar bahwa tubuh punya batas. Sekarang saya bekerja maksimal enam jam sehari, sisanya saya gunakan untuk membaca, berkebun, atau berkumpul dengan keluarga. Pendapatan saya memang tidak meledak, tapi saya jauh lebih bahagia.”
Soft Living mempunyai banyak dampak positif, antara lain: kesehatan mental yang lebih baik karena ritme hidup teratur, punya waktu untuk merawat pikiran, mengelola emosi, dan mencegah burnout. Waktu berkualitas dengan orang terdekat membuat hubungan lebih hangat dan penuh makna, menjadikan kehidupan lebih harmonis. Pola konsumsi lebih terkendali, mengurangi keinginan untuk terus membeli barang membuat kita lebih hemat dan ramah lingkungan.
Tidak semua orang melihat soft living secara positif. Ada anggapan bahwa mereka yang menjalani gaya hidup ini adalah pemalas atau kurang ambisius. Tantangan lainnya adalah faktor ekonomi: tidak semua orang punya privilege untuk mengatur ritme kerja sesuai keinginan, terutama mereka yang berada di bawah tekanan finansial.
Selain itu, ada risiko kehilangan daya saing di pasar kerja jika kita terlalu “nyaman” dengan ritme santai. Artinya, soft living tetap membutuhkan kesadaran untuk menjaga kompetensi dan keterampilan agar kita tidak tertinggal.
Di Indonesia, tren soft living mulai dilirik oleh generasi muda, terutama yang tinggal di kota besar. Media sosial turut mempopulerkannya lewat konten para influencer yang membagikan gaya hidup seimbang, hobi sederhana, hingga tips manajemen waktu. Namun, secara budaya, Indonesia masih kental dengan nilai kerja keras ala generasi sebelumnya.
Dalam keluarga tradisional, bekerja dari pagi hingga malam sering dianggap sebagai tanda tanggung jawab. Karena itu, soft living kerap dipandang “kurang serius” dalam meniti karier. Tantangannya adalah menemukan titik temu antara nilai-nilai lama yang menghargai etos kerja dan pandangan baru yang menekankan kesehatan mental serta kualitas hidup.
Pada akhirnya, soft living bukan tentang bermalas-malasan atau lari dari tanggung jawab. Ia adalah seni menyeimbangkan antara mengejar mimpi dan menikmati perjalanan. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan hanya demi target yang terus bergeser, seperti kata pepatah, “Jadilah sungai yang mengalir tenang, alirannya tidak berisik. Namun, dapat menghidupi banyak jiwa.”
Sungai yang tenang tidak berarti lemah, ia tetap mengalir, memberi kehidupan, dan mencapai lautan pada waktunya. Begitu pula hidup kita, berjalan dengan tenang, dan penuh kesadaran. Namun, tetap bergerak menuju tujuan. (F.S.Y./BJN).
***
Judul: Soft Living: Menikmati Hidup, Bukan Dikejar Hidup
Penulis: Febri Satria Yazid, pemerhati sosial.
Editor: Jumari Haryadi
Catatan:
Tulisan-tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dari Febri Satria Yazid bisa Anda baca di blog pribadi penulis ”Febrisatriayazid.blogspot.com”.
