Dua Kamar di Dalam Satu Kamar: Sebuah Catatan Tentang Tubuh yang Terbelah
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom OPINI, Minggu (10/08/2025) – Artikel berjudul “Dua Kamar di Dalam Satu Kamar: Sebuah Catatan Tentang Tubuh yang Terbelah” ini ditulis oleh Eka Gurun Firdaus, seorang kader militan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Indramayu.
Di sebuah kamar yang dahulu dibangun dengan semangat pembebasan, kini terdengar dua suara dari dua arah yang berbeda. Suara yang satu mengaku pewaris tunggal petuah sang guru tua. Suara lainnya menegaskan bahwa ia adalah penerus sah warisan api perjuangan. Keduanya bicara tentang yang sama, tapi saling menuding palsu. Keduanya mengusung bendera yang sama, tapi tak mau berada dalam satu barisan.

Beginilah akhirnya: dua kamar di dalam satu kamar
Dulu, kamar ini hanya satu. Kecil, sederhana, penuh semangat. Di dalamnya berkumpul mereka yang percaya bahwa kata-kata bisa menggerakkan sejarah, bahwa ideologi bukan barang museum, dan bahwa kaum muda punya utang kepada rakyat yang menghidupi mereka. Di kamar itu, buku-buku dibaca, malam-malam diisi diskusi, dan pagi-pagi dilalui dengan aksi.
Namun, kini kamar itu jadi sempit. Bukan karena dindingnya mengecil, tapi karena egonya membesar. Dua faksi lahir dari rahim yang sama, tapi saling menyangka yang satu adalah kutukan bagi yang lain. Maka mereka membangun tembok tipis di dalam kamar besar itu—tembok dari narasi, cap legalitas, dan klaim sejarah.
Mereka menyebut ini perbedaan visi, tapi baunya lebih dekat ke perebutan kunci
Di luar kamar, rakyat masih menunggu. Mereka yang tanahnya dirampas, yang upahnya dipotong, yang hidupnya tak pernah diundang dalam rapat-rapat elite—mereka tetap di sana, menunggu. Namun, para penghuninya sibuk saling mengunci pintu dan menyusun daftar siapa yang boleh bicara atas nama perjuangan.
Dulu, kamar ini melahirkan pemimpi dan pejuang. Sekarang, ia melahirkan pengacara-pengacara ideologi yang lihai membolak-balik pasal anggaran dasar.
Kita tahu, dalam sejarah gerakan, perpecahan bukan barang baru. Namun, hal yang membuat luka ini berbeda adalah kemunafikan yang menyelimutinya. Yang satu mengaku menjunjung kejujuran, tapi sibuk menyusun strategi membungkam. Yang satu bicara tentang kesetaraan, tapi hanya berlaku untuk yang sepakat.
Kamar itu telah kehilangan cerminnya. Ia tak lagi bisa melihat wajah sendiri tanpa merasa jijik
Hal yang paling tragis adalah para penghuninya yang masih muda, yang masuk dengan harapan akan menemukan rumah gagasan—mereka kini tersesat di labirin loyalitas semu. Dipaksa memilih antara dua kebenaran yang sama-sama cacat.
Apa artinya ideologi tanpa konsistensi? Apa artinya kaderisasi jika hasil akhirnya adalah pengurus yang lupa cara mendengar?
Mereka mungkin lupa bahwa rumah perjuangan tidak dibangun dari kemenangan dalam muktamar, tapi dari keberanian untuk kalah demi kebenaran. Mereka mungkin lupa bahwa setia pada sejarah bukan berarti mengulang pertengkaran masa lalu, tapi belajar darinya.
Sudah terlalu lama kamar ini bising oleh debat tak penting, sibuk menyulam bendera masing-masing sementara atapnya bocor, lantainya retak, dan angin perjuangan justru keluar dari celah-celah yang tak terjaga.
Di ujung senyap, suara sang guru tua barangkali masih bergema, “Kalian ini sedang memperjuangkan siapa? Diri kalian atau cita-cita itu?”
***
Judul: Dua Kamar di Dalam Satu Kamar: Sebuah Catatan Tentang Tubuh yang Terbelah
Penulis: Eka Gurun Firdaus
Editor: JHK
Sekilas Penulis
Eka Gurun Firdaus, seorang kader militan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Indramayu, Jawa Barat. Ia adalah pribadi yang menautkan idealisme pergerakan dengan kecintaan pada dunia literasi.
Jauh dari sekadar retorika, Eka menjadikan pena sebagai medium refleksi dan kritik atas realitas. Keterlibatannya yang mendalam dalam kajian-kajian GMNI membentuknya menjadi pemikir yang peka terhadap gejolak sosial, politik, dan ekonomi, seraya terus berupaya mendorong diskursus konstruktif demi kemajuan bangsa.
Dedikasinya pada nilai-nilai Marhaenisme dan Pancasila adalah kompas utama dalam setiap gagasan dan langkahnya, menjadikannya suara yang patut diperhitungkan dalam dinamika intelektual dan kepemudaan di Indramayu.
***