Wanita di Halte 12
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Kolom Sastra, Senin (30/06/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Wanita di Halte 12” ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko, seorang penulis dan pengarang, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.
Utomo biasanya dengan mudah menemukan jalan keluar ketika bingung, tetapi kali ini tidak. Kini dia bukan saja sedang dirundung kebingungan, tetapi sekaligus didera kebengongan. Dua keadaan yang amat dia benci dan sebisa mungkin akan dihindarinya.
Di dalam benak pria sibuk ini, harusnya orang yang punya banyak waktu luang saja yang bingung dan bengong. Kini, saat banyak pekerjaan, Utomo justru malah jadi bingung dan bengong. Dia galau, bingung, dan bengong menjadi satu. Semua gara-gara wanita itu.

Andai saja tadi Utomo ketemu wanita yang dalam beberapa pekan belakangan ini selalu naik bus trans kota yang sama, pasti tidak ada kegalauan. Namun, apa mau dikata, sore itu, sepulang kerja, dia basah kuyup bukan karena diguyur air hujan atau cucuran keringat, tetapi karena bermandi kegalauan akibat tidak melihat wanita itu.
Utomo selama ini sudah terlanjur terbiasa setiap berangkat kerja melihat wanita itu ada di dalam bus. Si wanita turun lebih dulu di Halte 12, dekat Rumah Sakit (RS), sedangkan saat pulang kerja, dia sudah ada di dalam bus saat wanita itu naik di halte yang sama.
Bus trans kota adalah angkutan umum yang beroperasi dengan jadwal ketat dan hanya berhenti di halte-halte tertentu. Bus ini tidak boleh menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat.
Begitulah, sore itu saat bus berhenti di Halte 12, biasanya tanpa menunggu lama wanita yang ditunggu akan muncul dan lalu naik. Namun, kali ini berbeda. Utomo tidak melihatnya di halte. Tidak puas dengan pandangan matanya, dia menjulurkan kepalanya ke arah halte, dan wanita cantik itu tak juga kunjung kelihatan.
Ketika akhirnya bus bergerak pelahan meninggalkan halte, Utomo terlihat sangat kecewa, persis seperti anak-anak kehilangan mainan. Rupanya pria normal ini sudah jatuh hati. Benaknya bertanya-tanya, kenapa dia tidak muncul?
Utomo mulai galau. Dia berpikir positif. Menurutnya wanita berparas lembut itu mungkin pulang naik bis sebelumnya atau pulang nanti dengan bus berikutnya. Namun, kegalauannya tidak hilang. Pantas saja kalau dia galau karena kesempatan ketemu dan melihat wanita itu sore ini sudah lewat. Untuk melihat lagi dia harus menunggu besok pagi saat berangkat kerja, itupun kalau dia naik bus yang sama.
Kini kegalauannya bertambah dengan rasa masgul karena sudah sekian lama tertarik dan bareng dalam satu bus, tetapi belum tahu namanya. Utomo sedih, niatnya untuk berkenalan dan berbincang dengan wanita misterius itu jadi tertunda lagi. Dia paham, niat baik yang tidak terwujud itu ibarat balon, tampak besar, tetapi tidak ada isinya.
Kenapa tidak dari kemarin aku datangi dan tanya: dari mana, mau ke mana dan siapa namanya? Ah betapa dungunya aku ini, katanya dalam hati.
Mengherankan memang, entah mengapa menghadapi wanita satu itu Utomo menjadi dungu. Ya, sedungu monyet kena ketapel, padahal dengan wanita-wanita lain di dalam bis atau di tempat lain bisa dengan ramah menyapa mereka. Bahkan, juga bisa ngobrol panjang lebar.
Seperti dulu, pada suatu pagi Utomo pernah menyapa seorang wanita yang duduk di sebelahnya dengan bertanya, “Turun di halte mana Mba?”
Tidak diduga si wanita menjawab dengan berbisik ketus di telinganya, “Mengapa panggil aku Mba? Emang aku kayak mba-mba yang disuruh majikan beli sayur dan obat nyamuk?”
Utomo kaget dan tidak mau kalah ketus, dia menjawab sambil berbisik, “Di mana salahnya? Anda bisa panggil saya Mas, meskipun saya bukan mas-mas seperti yang ada di dalam pikiran Anda.”
Tinggi hati amat sih, Utomo ngedumel.
Setelah itu Utomo kehilangan minat pada si “mba”. Ketika ketemu lagi, dia enggan menatap, padahal awalnya, kalau cocok di hati, bisa berlanjut dalam hubungan yang serius.
Pada kesempatan lain, Utomo kenal dengan wanita yang penampilannya tampak agamis dilihat dari pakaian, cara bicara, cara makan, dan cara minumnya. Utomo senang sekali kenal wanita ini, sepertinya bisa dijadikan pasangan untuk menjalani hidup selamat di dunia dan akhirat.
Tidak perlu buang waktu, setelah merasakan daya tarik wanita itu semakin kuat, semakin besar pula semangatnya untuk mengenalnya lebih dekat.
Wanita ini semakin mempesona di mata Utomo. Selain tampak agamis, saat ngobrol si wanita terlihat lebih mementingkan isi kepala dari pada model kerudungnya. Dalam berperilaku dia juga terkesan lebih mementingkan kalbu daripada model baju. Bicaranya lembut dan sopan, juga tidak pernah lupa mengucap, “Silahkan…., maaf…., terima kasih… dan hati-hati yaa…”
Pria berkumis tipis ini semakin kepencut. Beberapa kali dalam beberapa pekan dia menyambangi rumahnya dan beberapa kali pula mengajak wanita ini jalan-jalan keliling kota. Uang bukanlah masalah, makan, minum dan nonton dia bayar. Kadang dibelikannya bedak dan lipstick.
Apa daya, setelah berulangkali jalan-jalan, hasilnya bukan semakin dekat, tetapi malah semangat membangun hubungan yang serius luntur. Dengan mata kepala sendiri, dilihatnya si wanita seringkali meninggalkan kewajiban beribadah, padahal tidak sedang berhalangan.
Bagi lelaki alim ini kewajiban beribadah adalah prinsip. Bagaimana mau selamat sampai akhirat kalau kewajiban beribadah dengan enteng dilewatkan. Oleh karena itu tanpa basa-basi, Utomo berpamitan pergi.
***
Utomo sebenarnya capek dan mencoba berhenti mencari calon pasangan hidup yang tidak juga kunjung berhasil. Namun, sebagai anak tunggal dan hidup hanya berdua dengan Ibunya, capeknya langsung hilang ketika ibunya berkata, “Kapan aku punya menantu?”
Perkataan ibunya membuat Utomo mawas diri, apalagi umurnya sudah tidak muda lagi. Utomo berpikir, apakah aku terlalu pilih-pilih?
Pikiran itu dijawabnya sendiri, untuk urusan hidup, aku memang harus memilih yang terbaik, yang sempurna, kalau salah pilih pasti akan sulit diperbaiki. Oleh karena itulah Utomo terus berusaha mencari calon pendamping hidupnya. Semua dicoba, termasuk tampil rapi, berperilaku ramah dan melebarkan sayap pergaulannya.
Utomo juga mengikuti pengajian, kegiatan olah raga, dan seni. Siapa tahu di sana ada wanita baik-baik dan juga cantik yang bisa dijajagi menjadi calon pendampingnya.
Sampai kemudian ketemu dengan wanita di bus trans yang naik dan turun di Halte 12 itu. Wanita tanpa cacat yang membuatnya bermandikan kegalauan. Wanita yang telah membuat jantungnya berdetak kian cepat saat melihatnya mulai menapakkan kakinya setapak demi setapak naik bus.
Wanita itu pula yang membuat jantungnya berdegup makin cepat. Jantungnya makin berdebar-debar berharap wanita itu duduk di dekatnya. Harapannya tidak pernah kesampaian. Selalu ada kursi yang kosong sehingga dia leluasa memilih duduk di mana pun dia suka.
Utomo merenung penuh sesal, mengapa dia hanya menunggu dan tidak mencoba aktif mendekat. Sekali lagi, dia dibuat merasa bertambah dungu.
Betapa dungunya aku, kenapa tidak aku datangi dia dan berkenalan? Gumam Utomo. Dia bertekad akan aktif mendekatinya.
Akan aku lawan kedunguanku ini, kata Utomo sore itu pada diri sendiri dalam kegalauan. Sebuah kalimat bijak juga telah memotivasinya, “sesuatu yang memang pantas untuk dimiliki, sepatutnya dengan sungguh-sungguh diraih, jangan ditunggu”.
Di benak Utomo, wanita ini begitu sempurna. Usianya di atas 30 tahun, mengenakan hijab, berwajah bulat dengan mata memancarkan ketulusan dan kasih sayang. Penampilannya sederhana, tidak ada sedikitpun pemerah bibirnya, bedak pun hanya menempel sekedarnya di pipi.
Walau wanita itu telah membuatnya galau, tetapi lelaki matang ini bertekad tidak melewatkan kesempatan yang tersisa untuk segera berusaha memilikinya.
***
Utomo turun di halte dekat rumahnya. Kegalauannya terbawa sampai rumah. Ibunya yang duduk di teras disapa tanpa gairah. Dalam kegalauan yang parah, Utomo kesal, entah ke siapa dan dalam kekesalannya dia sesumbar, “Akan kukejar kau Wanita di Halte 12, sampai kudapatkan.”
Kopi hitam yang disediakan ibunya diminum sekaligus beberapa teguk. Sore hingga malam itu dia minum dua gelas kopi kegemarannya. Menurutnya, dalam kegalauan, minum kopi adalah solusi.
Setelah bersih-bersih diri Utomo bersiap menuju pembaringan dan ingin segera memejamkan mata. Sembari melangkah ke kamar, dia mengulang sesumbarnya, “Tunggu aku besok pagi!”
Tubuh Utomo sudah rebah di pembaringan, tetapi matanya masih sulit dipejamkan. Kepalanya penuh khayalan dan timbunan rasa galau. Dia coba menenangkan diri dengan berdoa, “Ya Tuhan, kalaupun sore tadi tidak ketemu, berilah malam ini aku kesempatan ketemu meski hanya dalam mimpi.”
Pelan-pelan capek yang melanda tubuh membuat matanya tidak kuat lagi menahan kantuk, Utomo tertidur. Nyenyak. Dalam tidur nyenyaknya, tidak ada sepotong pun mimpi tentang wanita berwajah lembut itu.
Saat bangun tidur pagi itu dibantingnya bantal. Utomo kesal. Bahkan, dalam mimpipun tidak bisa ketemu. Sembunyi di manakah engkau? Katanya dalam hati.
Utomo bergegas menyambar handuk. Air sumur yang mengguyur tubuhnya pagi itu membalik rasa kesal menjadi segar. Sesumbarnya semalam akan mendatangi wanita itu menambah semangatnya, apalagi kopi hitam sudah disediakan ibunya. Diminumnya kopi hitam dengan penuh penghayatan.
Minum kopi pagi-pagi bagi Utomo adalah sumber semangat dan solusi untuk segala masalah.
Pagi itu Utomo berpenampilan maksimal. Dengan mantap diayunkan kakinya melangkah menuju halte. Sambil melangkah, bibirnya terus komat-kamit melafalkan doa, memohon diberi kemudahan dalam menghadapi wanita itu.
***
Tidak lama kemudian, bus yang ditunggu datang menghampiri halte. Satu-satu penumpang naik ke dalam bus, termasuk Utomo.
Disapukan pandangan matanya ke seluruh badan bus. Satu kali, dua kali dan tiga kali sapuan, tidak dilihatnya wanita yang dicarinya. Kurang puas, Utomo jalan dari depan ke belakang dan yang dia cari memang tidak ada.
Utomo tidak tinggal diam, didatanginya supir bus lalu dia tanya tentang wanita itu. Supir tidak tahu seperti apa wanita yang Utomo maksud, tetapi supir itu cerita, tidak ada penumpang turun sejak dari halte paling ujung.
Lelaki ini makin bingung, tetapi tidak makin bengong. Utomo sudah merencanakan langkah lain. Diaturnya nafas, dirapikannya pakaian dan tas kerja kantornya. Dia akan turun di Halte 12 tempat wanita itu biasa turun.
***
Utomo melangkah melintasi pelataran Rumah Sakit yang luas dengan kepala agak menunduk dan sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampak jelas ini tempat yang asing baginya. Lelaki ini kemudian menuju meja petugas penerima tamu dan menyampaikan keinginannya bertemu dengan seorang wanita yang setiap pagi turun dari bus dan berjalan ke dalam Rumah Sakit.
“Wah mas, banyak sekali yang turun dari bus, kami tidak bisa menebak-nebak,” kata petugas penerima tamu, “Ada ratusan pegawai, perawat, dokter dan keluarga pasien yang keluar masuk Rumah Sakit.”
Lalu digambarkannya wanita itu dengan detil, termasuk pakaian, kerudung, tas kerja, tinggi, dan bentuk tubuhnya. Bahkan juga cara berjalan dan senyumnya. Utomo dan petugas Rumah Sakit itu terlihat serius berbicara, lengkap dengan gerak tangan dan mimik wajah.
Akhirnya tergambarkan sosok wanita yang Utomo maksud. Wanita itu pegawai pindahan dari pusat dan mulai dua hari yang lalu tinggal di lingkungan Rumah Sakit. Dia tidak perlu naik bus lagi.
Petugas penerima tamu menambahkan bahwa banyak orang, terutama pria yang menanyakan wanita tersebut.
“Wanita itu memang cantik dan menarik, selain itu juga ramah dan kelihatan baik hati serta pintar,” kata petugas penerima tamu itu.
Utomo menyahut cepat, “Iya betul, itulah pula kesan saya tentang wanita itu.”
Petugas kembali bertanya, “Lalu Anda kepengin ketemu karena apa? Karena kecantikannya atau kepintarannya?”
“Yak karena keduanya,” sambar Utomo cepat berharap bisa segera ketemu.
“Maksud saya, dia itu Dokter Ahli Jiwa. Apakah karena Anda sakit jiwa?” Kata petugas tanpa basa-basi.
Jawaban dari Petugas itu menohok ulu hati Utomo, seperti petinju yang terkena pukulan keras, terhuyung-huyung, lalu melangkah mundur teratur. Dicarinya masjid, Utomo ingin menenangkan diri.
Air wudu yang membasuh sebagian tubuhnya menenangkan jiwanya. Dibukanya pintu masjid dan semilir udara sejuk AC menerpa tubuhnya. Di dalam ada sepasang suami istri yang baru selesai salat Duha.
Melihat suami istri itu, Utomo terduduk lunglai seperti tak bertulang. Kedua telapak tangannya ditangkupkan di kedua sisi pipinya. Perlahan dia sujud tak kuat menahan haru, dibenamkan mata dan hidungnya ke sajadah.
Didengarnya pintu masjid terbuka dan suami istri tadi keluar. Setelah yakin tidak ada orang lain, keluarlah suara tangis sesenggukan sambil terbata-bata memohon ampun pada Tuhan.
Doa mohon ampun karena kurang bersyukur setelah menyaksikan sendiri betapa mesra dan tulusnya kasih sayang sepasang suami istri yang baru selesai salat tadi. Sepasang insan setengah baya itu saling bantu untuk berdiri dan berjalan. Cinta, ketulusan dan keikhlasan membuat mereka terlihat serasi meskipun salah satunya memiliki ketidaksempurnaan tubuh.
Utomo malu pada dirinya sendiri yang berlagak seperti manusia paling sempurna dan mencari pasangan hidup yang lebih sempurna.
***
Judul: Wanita di Halte 12
Pengarang: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: Jumari Haryadi
Tentang Pengarang:
Sarkoro Doso Budiatmoko lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak dan Ibu Pranoto. Pendidikan formal hingga tingkat SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini, sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di Fakultas Kehutanan (E16) IPB, Bogor dan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat.
Kesukaannya membaca tidak terbatas, dari buku tebal hingga sekedar bungkus kacang.Kesukaan membaca ini diimbangi dengan kegemaran menulis.Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan humaniora.
Sebagian dari tulisannya telah dibukukan dengan judul: “NAH…mengambil makna dari hal-hal kecil”, diterbitkan oleh SIP Publishing, Purwokerto, 2021. Sedangkan sebagian cerpennya telah dibukukan dengan judul: Dunia Tak Seindah Rembulan” yang juga diterbitkan oleh SIP Publishing, 2024.
Pengalaman, pergaulan, dan wawasannya bertambah luas semenjak menjalani profesi sebagai staf pengajar dari 2016 di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto, UMP.
Penulis dikaruniai tiga orang anak dan beberapa cucu saat ini menetap di Purwokerto.Aktivitasnya, selain menulis dan mengajar, juga mengikuti berbagai seminar dan webinar, serta memenuhi undangan sebagai narasumber di beberapa event.
***