TikTok, Dropshipping, atau Kuliah? Jalan Mana yang Dipilih Anak Muda Sekarang?
BERITA JABAR NEWS (BJN) – Rubrik OPINI/ARTIKEL/FEATURE/ESAI, Senin (23/06/2025) – Artikel berjudul “TikTok, Dropshipping, atau Kuliah? Jalan Mana yang Dipilih Anak Muda Sekarang?” ini ditulis oleh Fuadi yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen Universitas Pamulang (UNPAM), Serang, Provinsi Banten.
Anak muda zaman sekarang dihadapkan pada pilihan yang jauh berbeda dibanding generasi sebelumnya. Jika dulu lulus SMA identik dengan kuliah atau kerja kantoran, kini muncul opsi baru: jadi kreator TikTok, pedagang dropshipping, atau pengusaha digital.
Perkembangan teknologi dan ekonomi kreatif telah membuka pintu peluang tanpa gelar akademis. Namun, memunculkan pertanyaan: mana yang benar-benar berkelanjutan? Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan cerminan perubahan struktur ekonomi global yang mengutamakan skill, jaringan, dan adaptasi cepat.

Platform seperti TikTok Shop, Shopify, atau Dropshipping menggoda dengan janji penghasilan cepat tanpa modal besar. Banyak anak muda terinspirasi oleh kisah sukses influencer atau reseller yang meraup puluhan juta per bulan dari kamar kosnya. Namun, di balik glamornya “hustle culture“, ada tantangan tersembunyi: persaingan ketat, algoritma yang berubah-ubah, dan ketidakpastian pasar. Bisnis digital bisa menjadi ladang emas, tapi juga ladang ranjau bagi yang tak siap dengan risiko.
Di sisi lain, kuliah sering dianggap sebagai jalur konvensional yang mulai dipertanyakan relevansinya. Biaya mahal, kurikulum ketinggalan zaman, dan lapangan kerja yang tak menjamin lulusan langsung dapat pekerjaan memicu skeptisisme. Namun, data tetap menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan sarjana lebih tinggi dalam jangka panjang. Pendidikan tinggi juga memberikan soft skill—seperti critical thinking dan jaringan profesional—yang tak terukur nilainya. Pertanyaannya: apakah gelar hanya sekadar “backup plan“, atau investasi wajib di era disruptif?
Pilihan antara bisnis digital dan kuliah sering kali mencerminkan perbedaan mentalitas. Bisnis online menjanjikan hasil instan (meski tidak selalu), sementara kuliah melatih kesabaran dan kedalaman pengetahuan.
Di tengah budaya “viral atau mati”, banyak anak muda terjebak dalam siklus mencari shortcut, padahal kesuksesan berkelanjutan biasanya butuh fondasi kuat. Contohnya, kreator TikTok yang hanya mengandalkan tren tanpa strategi konten jangka panjang akan mudah tenggelam.

Tidak semua anak muda punya privilege untuk memilih. Bagi yang berasal dari keluarga kurang mampu, bisnis digital mungkin jadi satu-satunya cara menghasilkan uang tanpa biaya kuliah. Sebaliknya, keluarga kelas menengah-atas mungkin memandang kuliah sebagai langkah wajib. Di sini, ketimpangan akses terlihat jelas: ada yang bisa trial-error bisnis karena punya safety net, sementara lainnya terpaksa kerja serabutan demi bertahan hidup.
Beberapa anak muda memilih jalan tengah: kuliah sambil membangun bisnis atau personal brand. Pola hybrid ini memungkinkan mereka merasakan kedua dunia—stabilitas akademis dan fleksibilitas entrepreneurship. Misalnya, mahasiswa yang mengambil jurusan marketing sekaligus menjalankan toko online. Namun, tantangannya adalah manajemen waktu dan energi. Tidak semua orang sanggup membagi fokus tanpa mengorbankan salah satu sisi.
Pakar pendidikan seperti Andreas Schleicher (OECD) menekankan bahwa skill digital memang penting, tapi harus diimbangi dengan kemampuan analitis yang sering diasah di bangku kuliah. Data LinkedIn (2023) menunjukkan bahwa 60% perusahaan tetap memprioritaskan kandidat berpendidikan tinggi untuk posisi strategis. Di sisi lain, laporan Google menyebut 70% pekerjaan masa depan membutuhkan keterampilan teknis spesifik—yang bisa dipelajari secara otodidak.
Pada akhirnya, pilihan antara TikTok, dropshipping, atau kuliah bergantung pada tujuan individu, kondisi finansial, dan kesiapan mental. Yang terpenting adalah kesadaran bahwa kesuksesan tidak pernah linier. Anak muda perlu jujur menilai diri: apakah mereka siap menghadapi volatilitas dunia digital, atau butuh struktur pendidikan formal? Apapun pilihannya, kuncinya adalah konsistensi, adaptasi, dan kemauan belajar seumur hidup—karena di era disruption, satu-satunya kepastian adalah perubahan itu sendiri.
Kini, era di mana anak SMA bisa lebih kaya dari profesornya, pertanyaannya bukan lagi, “Kuliah atau bisnis?” Namun, “Seberapa berani Anda bertaruh pada diri sendiri?”
Jika dunia sudah membuktikan bahwa Zuckerberg sukses tanpa ijazah Harvard, tapi juga penuh dengan dropshipper bangkrut dalam 3 bulan. Apa yang membuat Anda yakin pilihan Anda berbeda? Atau jangan-jangan, ini semua hanya rasionalisasi untuk menghindari kenyataan: bahwa di balik janji kebebasan finansial, mungkin Anda takut gagal—baik di kampus maupun di pasar digital?
Apakah mungkin, semua pilihan ini salah? Namun, hal yang lebih menakutkan adalah Anda tidak memilih apa-apa dan terjebak dalam “analisis paralysis” selamanya. (Fuadi).
***
Judul: TikTok, Dropshipping, atau Kuliah? Jalan Mana yang Dipilih Anak Muda Sekarang?
Penulis: Fuadi
Editor: Jumari Haryadi