Berita Jabar NewsBJNCerpenSastra

Cerpen “Cemburunya Aku pada Handphone-mu”

BERITA JABAR NEWS (BJN), Ruang Sastra, Senin (26/05/2025) – Cerpen berjudul “Cemburunya Aku pada Handphone-mu” ini ditulis oleh Heni Anggraeni, seorang pecinta literasi dan guru SDIT Cahaya Qur’ani Kabupaten Bandung Barat.

Aku memilih duduk di pojok kursi panjang angkutan umum dan kuposisikan tubuhku agar terasa nyaman. Aku berharap kepulanganku kali ini akan lebih cepat, tidak seperti saat keberangkatanku yang hampir satu jam lamanya karena terjebak macet.

Ada dua orang ibu muda berkaca mata duduk di depanku dengan hijab yang senada. Mereka kulihat begitu asyik mengobrol.

Heni Angraeni
Heni Angraeni, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Setelah posisi dudukku benar-benar nyaman, barulah kubuka handphone-ku untuk melihat chat di WhatsApp (WA) yang belum sempat kubaca. Persis duduk di sebelah kananku, ada tiga orang ibu paruh baya, salah satunya berbadan subur. Mereka tak banyak bicara, hanya diam seolah hanyut oleh suara musik yang diputar oleh Pak Supir.

Dua ibu muda yang berada di depanku tadi sedang asyik berbincang dengan setengah berbisik. Namun, telingaku masih bisa mendengar percakapan mereka. Bahkan, lama kelamaan ibu-ibu yang duduk disampingku pun sepertinya ikut menyimak pembicaraan mereka. Hal itu bisa dilihat dari pandangan mereka yang sesekali saling berpandangan.

“Handphone-ku yang berbunyi, kenapa hatiku yang bergetar ya?”

Tiba-tiba salah seorang ibu muda di depanku itu berucap sesuatu yang membuat perhatian kami semakin tertuju kepada mereka.

“Kamu selingkuh Ana?”

Teman di sampingnya  bertanya pada ibu muda yang ternyata bernama Ana dengan ekspresi kaget dan cukup membuat percakapan panjang  keduanya terhenti sejenak.

“Kamu nggak takut dosa?” Tanya teman di sampingnya lagi penuh ke khawatiran.

“Suami Kamu tidak marah? Tidak cemburu?” Tanya temannya lagi

“Cemburulah! Handphone-ku sampai dibanting sama dia, untung saja masih bisa menyala!” Jawab Bu Ana lagi masih dengan nada yang datar, jari jarinya masih asyik mengetik sambil tersenyum sendiri.

“Apalagi setelah tahu aku selingkuh, perhatiannya hanya pada Syifa dan dia menjadi suami yang super cuek,” jawab Bu Ana sembari menoleh ke arah temannya, sambil melihat beberapa foto anaknya yang bernama Syifa.

“Jadi, beneran kamu selingkuh?” Ujar temen Bu Ana sedikit terperanjat yang semula hanya menebak saja, tapi ternyata kekhawatirannya benar benar terjadi.

“Ya, mungkin sebentar lagi aku akan menjadi janda,” sahut Bu Ana dengan entengnya, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah di wajahnya.

“Seharusnya kamu beruntung punya suami baik, Ana, tidak seperti aku,” ucap teman Bu Ana lagi sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Loh, Kamu sama si Iwan apa kabarnya? Apakah masih suka diam-diaman?” Tanya  Bu Ana menoleh ke arah temannya sambil membetulkan  kaca matanya.

Dari arah pembicaraannya,  seakan mereka sudah tahu permasalahannya masing-masing sehingga sudah seperti tidak ada rahasia di antara keduanya.

“Suamiku, pagi sampai sore kerja. Setelah pulang, waktunya dihabiskan untuk bermain handphone,” kata teman Bu Ana dengan wajah yang murung, “Jangankan membantu pekerjaan rumah atau membantu menjaga anak,  berkomunikasi pun hampir tak ada. Aku cemburu pada handphone kamu, Ana.”

Perkataan beruntun keluar dari teman Bu Ana. Terlihat ada genangan air mata di sudut matanya yang siap meluncur. Perasaan cemburunya membuatnya tidak malu meneteskan air mata yang tak bisa lagi dibendungnya. Rasa sedihnya membuatnya lupa bahwa dia sedang berada di sebuah angkutan umum.

Seorang ibu berbadan subur yang duduk di dekatku menoleh ke arahku, apa yang menjadi perbincangan dua ibu muda berkacamata itu, memancing ibu subur itu untuk ikut nimbrung ke dalam pembicaraan mereka.

Aku hanya tersenyum, mencoba mengerti apa yang di inginkan ibu itu.

“Maaf tadi kalau nggak salah namanya Ana ya?” Tanya Ibu bertubuh subur itu dengan sedikit menepuk paha Bu Ana.

“Iya, ada apa ya Bu?” Tanya Bu Ana dengan tatapan heran, mengingat ibu yang bertanya itu tidak di kenalnya.

“Sudah punya anak?” Tanya Ibu bertubuh subur itu lagi.

“Sudah Bu,” jawab Bu Ana singkat.

“Tidak sayang sama anak? Sama suami?” Tanyanya Ibu bertubuh subur itu lagi.

“Sayang Bu,” jawab Bu Ana dengan ekspresi wajah yang mulai tak nyaman.

“Terus kalau sayang sama anak, sama suami, kenapa selingkuh?” Tanya Ibu bertubuh subur itu dengan wajah ketus.

“Kiri! kiri!”

Tanpa basa-basi, teman Bu Ana  menyetop angkutan umum agar berhenti sambil menarik tangan Bu Ana agar segera turun. Dia sadar akan ada perang dunia ketiga bersama emak-emak. Mereka memilih pergi dan meninggalkan segala caci maki yang dilontarkan ibu bertubuh subur itu.

“Memang zaman sekarang Bu, handphone sudah membuat kita cemburu,” balas seorang ibu lainnya  yang pindah tempat duduknya ke tempat bekas Bu Ana tadi.

Aku sebut saja Ibu Manis karena memang wajahnya tidak bosan saat dipandang walaupun sudah terlihat berumur.

“Anak saya saja, saat di-chat, jangankan membalas, dibaca pun tidak,” kata Ibu Manis sambil menatap kami bergantian.

“Di telpon malah di rijek, padahal orang tua itu hanya menanyakan kabar, takut kenapa-napa, khawatir terjadi apa-apa,” ujar Ibu Manis dengan wajah yang sedih.

Sayangnya aku sudah sampai pada tempat tujuanku hingga tak lagi kuhiraukan Ibu Manis itu bercerita. Aku juga tidak tahu, apakah ada lagi cerita  baru dalam pembicaraan mereka, mengingat masih ada lagi seorang ibu yang dari tadi hanya terdiam sepertiku.

Aku pamit pada mereka sambil menyetop angkutan umum yang kutumpangi, mengakhiri cerita di antara mereka, cerita yang sebenarnya nyata terjadi dalam kehidupan kita.

***

Menjelang sore, aku tuangkan cerita tadi siang menjadi sebuah tulisan, berharap ketika senja datang akan ada pelangi menghampiri, memberi makna bagi yang mengerti dan memahami.

“Aku” yang bisa berperan sebagai suami, istri, ayah, ibu, dan atau siapapun, bisa mewakili siapa pun untuk menyatakan sebuah kegelisahan yang kuat untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama tersimpan tanpa sebuah syarat.

“Aku” juga bisa berbicara hanya dengan tetesan air mata karena sudah tak ada lagi pilihan.

***

“Aku” cemburu pada handphone-mu. Ungkapan yang mungkin sederhana,  tetapi saat “aku” mewakili seorang suami yang tak  bercerita dengan lukanya, yang sudah kehilangan rasa bahagianya, dikhianati oleh perselingkuhan istrinya, dan seorang istri yang lebih bahagia dengan air matanya, rasanya tak adil jika hanya berdiam diri.

Walau hanya dengan sebuah tulisan, tapi ada harap yang ku titipkan.

Bertahan mungkin menyakitkan, saat kita sudah tak di pedulikan, ingin teriak karena merasa sendirian, kesepian.

Oleh sebab itu, bagi suami yang ingin dirajakan maka siaplah untuk meratukan karena istrimu butuh waktumu untuk bersama-sama mengurus rumah tangga, menjaga dan merawat anak-anak bersama-sama, bukan terlena oleh hal yang sia-sia. Istrimu juga butuh teman untuk bercerita. Oleh sebab itu berikan bahumu untuk bersandar, berikan istrimu rasa nyaman, jika tak ingin rumah tanggamu berakhir di pengadilan.

Untuk para suami, belajarlah untuk menyayangi dan mencintai istri. Juga untuk para istri, belajarlah memperhatikan dan memuliakan suami karena hidup harus terus berjalan.

Masih banyak manfaat yang didapat dari sebuah handphone, selama kita menggunakannya  kepada jalan yang benar, bukan menjadikan kita lalai dan kehilangan banyak kesempatan.

***

Dari cerita tadi siang, tak banyak yang kudengar dari cerita Bu Manis. Namun, aku yakin ribuan kalimat tersimpan sama di hati para orang tua, dan aku yakin, kalimat itu hanya terucap pada doa  yang tak pernah lupa dipanjatkan buat anak-anak tercintanya. Meminta kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar anak-anaknya tetap dijaga dari segala mara bahaya, dari kerasnya zaman, dari segala yang menyesatkan, meminta tanpa lelah putra-putrinya di-saleh dan di-saleha-kan.

Jangan salahkan ayah ibumu bila cemburu pada handphone-mu nak karena “aku”, ayah ibumu, ingin berkumpul bersama kalian, bukan hanya hanya di dunia, tapi juga di akherat kelak.

“Aku” yang bisa berperan sebagai siapa pun, hanya ingin mengingatkan bahwa sesuatu yang dicintai berlebihan, pada akhirnya akan melalaikan dan menyesatkan. Oleh akrena itu cintailah sewajarnya, gunakan sebagaimana fungsinya agar menjadi manfaat hingga dapat menikmati hasilnya.

***

Judul: Cemburunya Aku pada Handphone-mu
Penulis: Heni Anggraeni
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang Penulis

Heni Anggraeni adalah mantan karyawan di PT Perdana Firsta Garment. Sudah lama dia memiliki keinginan kuat untuk menjadi seorang pengarang. Meskipun usianya sudah bukan remaja, tetapi semangat menulisnya luar biasa. Sudah beberapa cerita pendek lahir dari tangan dinginnya.

Kini Heni beralih profesi menjadi seorang guru di SDIT Cahaya Qur’ani yang terletak di Jln. Babakan Tarogong No.16, RT 01 RW 06, Desa Citapen, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

***

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *